Kamis, 20 Desember 2018

Kenapa Memilih Kuliah di Indonesia (aja)?

Setelah lulus dari pendidikan sarjana, tantangan-tantangan baru kehidupan menanti. Uniknya adalah segenap tantangan itu terwakili dengan satu pertanyaan: habis lulus mau ngapain? Pertanyaan yang memiliki efek horor bagi sebagian orang, termasuk untukku. Aku merasa pertanyaan itu horor bukan karena nggak ada yang aku kerjakan sih, tapi lebih ke bahwa ‘kesibukanku saat ini adalah pilihanku yang akan membutuhkan waktu untuk membuatmu memahaminya’. Salah satu tantangan yang insyaa Allah akan kupilih adalah melanjutkan ke pendidikan tingkat master. Dorongan kuat dari orangtua seperti menyihirku dan membuatku berpikir bahwa menempuh jenjang S-2 adalah sebuah kewajiban.

Pada masa-masa awal pasca kelulusanku, orangtuaku sering mendorongku untuk mencari beasiswa untuk S-2 di luar negeri dengan beberapa alasan (yang sebenarnya juga bukan merupakan jaminan sih), misalnya: 1) kuliah di luar negeri akan memberikan pengalaman hidup yang berbeda dibandingan jika kita tetap memilih kuliah di dalam negeri; 2) Menjadi lulusan master dari luar negeri akan membuatmu lebih diperhitungkan saat mencari kerja nanti; 3) tak dapat dipungkiri pula bahwa kuliah di luar negeri menumbuhkan kebanggaan tersendiri. Bahkan untuk meyakinkanku, Bunda sempat juga bilang ke aku, “Bunda nggak papa lho Tin kalau misalnya kamu tinggal.” Ayah pun ikut-ikutan membenarkan Bunda. Namun apalah aku, seorang perempuan tradisional yang berprinsip ‘selama ada yang dekat, kemudian bisa dekat dengan keluarga, kenapa harus cari yang jauh?’

Namun, karena Ayah dan Bunda masih sering memotivasiku untuk kuliah di luar, akhirnya aku pun mulai mencari-cari info. Pencarianku itu berujung pada satu kesimpulan (yang juga masih dipengauhi oleh sikap tadisionalku), kayaknya kuliah di Indonesia pun bagus kok. Nggak kalah sama di luar. Selain itu, aku mulai tegas dengan bertanya kepada diriku sendiri, “Sebernanya, apa sih yang kamu cari dari belajar psikologi, bahkan sampai harus melanjutkan ke jenjang S-2?” Jawaban itu sudah jelas, bahwa belajar psikologi berarti juga mempelajari salah satu aspek dari tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam ini—yang tujuan utamanya adalah semakin mengenal dan takut kepada Allah; yang kemudian dengan mempelajarinya aku bisa bermanfaat untuk diriku sendiri, keluarga, dan masyarakat seluas-luasnya. Lebih khusus lagi, yang aku inginkan bukan sekedar ‘psikologi’, namun juga psikologi yang teintegrasi dengan dengan islam, atau yang biasa dikenal dengan istilah ‘Psikologi Islam’.  Sejauh yang aku tahu dari membaca berbagai wacana tentang psikologi islam, menurutku kunci dari psikologi islam ialah ‘mengaji’, atau mengkaji islam secara mendalam kepada guru, sehingga kita dapat dengan bijak melihat psikologi mainstream dan bagaimana mengintegrasikannya dengan nilai-nilai islam. “Kalau gitu, fix lah di Indonesia tempatnya. Kesempatan buat ke luar negeri bisa lewat short course atau semacamnya yang nggak membutuhkan waktu lama,” pikirku.

Oke, perkara tujuan sudah clear. Kemudian alasan yang membuatku berat meninggalkan Indonesia adalah aku nggak mau jauh dari Ayah dan Bunda, salah satu kunci keberkahan hidupku. Biarkan aku di Indonesia, menambal cacatnya baktiku kepada beliau berdua.

Dengan sikap tradisionalku ini, aku tetap berpikir pada saatnya nanti aku haus ‘go international’ wkwk. Aku punya cita-cita buat mendirikan lembaga pendidikan Islam di negara-negara yang keberadaan islam masih sangat kurang terlihat seperti misalnya Filipina atau Vietnam. Insyaa Allah akan ada jalan.  Untuk kelas persiapan tes internasional pun, aku mengambil kelas IELTS, jaga-jaga kalau suatu hari nanti Allah membalikkan hatiku hehe. Intinya adalah aku di sini hanya ingin menyajikan pespektif lain, sehingga jika teman-teman masih bingung untuk mengambil keputusan antara ‘kuliah di dalam atau di luar negeri’, cobalah cari juga info dari mereka yang sudah kuliah di sana. Bukan hanya tentang kisah suksesnya, namun juga perjuangan mereka untuk tetap beragama dengan baik dan menjaga keharmonisan dengan keluarga yang ditinggalkan.  

Jumat, 30 November 2018

Buku Keren (1)

Bismillahirrahmanirrahim

Pada suatu hari, Ustadz Afri Andiarto menugaskan kami untuk membaca beberapa buku untuk membuat tulisan, salah satunya adalah buku terjemahan berjudul Reclaim Your Heart (Rebut Kembali Hatimu): Wawasan-Mencerahkan tentang Cinta, Duka, dan Bahagia karya Yasmin Mogahed. Menurut Ustadz Afri, buku ini sangat bagus. Mendengar hal itu, saya sangat penasaran sehingga lebih memilih mencari buku tersebut di toko buku, ketimbang menunggu pinjaman dari Ustadz Afri. Namun, setelah mengelilingi beberapa toko buku di Kota Malang, mulai dari toko buku kecil sampai yang paling besar, hasilnya nihil. Pun saat saya mencoba mencari di online shop, saya tetap tak menemukannya. Setelah beberapa minggu berselang, akhirnya kami mendapatkan pinjaman buku tersebut dari Ustadz.

Daaaan, saya jatuh cinta dengan buku ini. Buku ini cocok untuk menjadi cermin agar kita kembali sadar bahwa selama ini kita sudah terlalu terikat dengan dunia. Bahwa selama ini kita sok kuat dan sok tahu: mengandalkan pengetahuan dan kekuatan diri sendiri yang sebenarnya tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Salah satu pelajaran yang bagi saya sangat menarik dari buku ini adalah bahwa 'cinta dunia itu bukan hanya ketika kita terikat dengan sesuatu yang sifatnya material, tetapi juga ketika kita menyandarkan kebahagiaan kita pada manusia, momen, dan emosi.' Maksudnya, dalam melakukan sesuatu, alih-alih berharap Allah ridho, kita malah lebih berfokus pada perhatian manusia. Sementara itu, yang dimaksud dengan terikat pada momen dan emosi adalah kita berharap bahwa hidup ini selalu 'bahagia' dan selalu berjalan persis seperti yang kita harapkan. Kecintaan pada dunia tersebut akan membuat kita mudah jatuh, karena pada dasarnya, seperti yang kita tahu, kita hanya bisa berencana dan berusaha. Oleh karena itu, buku ini mengajarkan kita untuk menjadi lebih stabil dengan cara bersandar pada Allah semata, Zat yang tidak akan pernah berubah. Zat yang selalu ada. Hanya dengan bersandar pada-Nya-lah, kebutuhan dan kecintaan kita pada kesempurnaan dan keabadian dapat terpenuhi.

Alhamdulillah buku ini sudah dicetak ulang, namun oleh penerbit yang berbeda, sehingga saya tidak tahu apakah isinya sama persis atau tidak. Semoga teman-teman bisa mendapatkan manfaat dari buku ini ya! Kalau ada yang salah dari tulisan saya, silakan disampaikan. Allahu a'lam

Rabu, 28 November 2018

Menjemput Penggenap Keimanan


(Sebut saja) Mawar: “Tin, seumur-umur aku nggak pernah pacaran. Tapi bayangin, aku justru ‘terpeleset’ satu minggu sebelum akad. Godaannya di masa-masa seperti itu besar banget menurutku. Sampai sekarang aku merasa berdosa banget ... 

Me: “…”

Mawar: “Ya gimana ya…saat itu tuh kita udah tau kalau dia adalah jodoh kita gitu… ”
Sampai hari ini, saya tidak tahu ‘terpeleset’ seperti apa yang Mawar maksudkan. Namun, berdasarkan cerita panjang lebarnya, beberapa minggu sebelum akad ia tidak pernah bertemu langsung dengan calon suaminya dan ‘hanya’ menjalin komunikasi melalui media sosial. Mungkin, Mawar terpeleset mengirim pesan yang menurutnya terlampau mesra, sementara keduanya belum sah. Ah ya, bagi mereka yang memang sudah berkomitmen untuk menjemput jodoh dengan cara terbaik, hal itu sudah merupakan kesalahan yang membuatnya merasa sangat berdosa.

Di sisi lain, akhir-akhir ini kita bisa melihat di media sosial bertebaran foto ‘engagement’ atau bahasa kerennya ‘lamaran’ atau ‘khitbah’, yang kemudian mereka yang sudah lamaran itu kerap memamerkan foto mesranya. Nah, sebenarnya bagaimana sih islam mengajarkan kita untuk menjemput jodoh kita melalui proses nazhor-khitbah-nikah? Apa saja yang harus kita perhatikan? Berikut ini merupakan rangkuman kajian pranikah yang rutin diadakan di Masjid Ulul ‘Azmi UNAIR dengan dibina oleh Gurunda Ustadz Afri Andiarto. Rangkuman ini sudah diperiksa oleh beliau..

Nazhor
Pada umumnya dalam ajaran islam, laki-laki boleh melihat perempuan dalam jual beli, memberikan kesaksian, dan berbagai kegiatan baik lainnya dengan batas-batas tertentu. Namun, nazhor yang dimaksud di sini adalah proses melihat perempuan yang dilakukan sebelum laki-laki melamar atau mengkhitbah seorang perempuan. Adanya nazhor merupakan bentuk kehati-hatian, menjaga dari adanya ketertipuan fisik maupun akhlak. Hal ini penting karena pernikahan adalah ibadah seumur hidup dan ikrar pernikahan adalah termasuk dalam perjanjian yang sangat kuat. 

Mayoritas ulama sepakat bahwa laki-laki yang hendak melihat perempuan dengan maksud menikahi tidak perlu izin kepada perempuan yang bersangkutan, agar si laki-laki bisa mengetahui keadaan asli si perempuan. Maksudnya, karena tidak tahu akan diperhatikan, si perempuan akan berpenampilan dan bersikap natural atau tidak dibuat-dibuat. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga perasaan si perempuan. Bisa saja laki-laki ini tidak jadi menikahi si perempuan setelah memperhatikannya. Jika si perempuan mengetahui hal ini, tentu ini akan sangat melukainya. Namun, dalam hal ini Imam Malik berpendapat bahwa laki-laki harus izin kepada si perempuan, karena khawatir bahwa saat laki-laki melihat, perempuan yang tidak tahu ini sedang menampakkan auratnya. Satu hal penting yang perlu diingat ialah bagian tubuh yang boleh dilihat hanya wajah dan telapak tangan. Menurut Imam An-Nawawi, dengan memperhatikan tangan, laki-laki dapat mengetahui kecantikan seorang perempuan dan kesehatannya. 

Nah, apabila laki-laki tidak memungkinkan untuk melihat si perempuan, misalnya karena ia sedang berada di luar negeri, ia bisa meminta tolong kepada saudara atau teman perempuan (yang tidak ada kepentingan atau perasaan kepada si laki-laki) untuk melihat perempuan yang dimaksudkan.

Khitbah
Khitbah secara bahasa berasal dari kata khotoba yang artinya bercakap, menyampaikan sesuatu, dan identik dengan singkat, padat, dan jelas. Secara istilah, khitbah di sini bermakna menyampaikan maksud untuk meminang dari pihak laki-laki kepada wali dari pihak perempuan dengan ringkas, padat, dan tidak bertele-tele.

Adapun sunnah-sunnah dalam khitbah antara lain: mengucapkan maksud dengan diawali dengan membaca hamdalah dan sholawat nabi. Tidak diwajibkan untuk beramai-ramai dalam melamar, namun hal ini diperbolehkan karena biasanya ini dimaksudkan untuk menjalin silaturahim. Begitupun dengan membawa seserahan, diperbolehkan meskipun tidak wajib. Seserahan ini dinilai sebagai hadiah, yang mana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Saling memberilah hadiah , niscaya kalian akan saling mencintai. Namun, yang tidak diperbolehkan adalah apabila hal itu sampai memberatkan atau mempersulit diri sendiri. Karena Rasulullah pun menganjurkan kita untuk bersederhana. Adapun hukum tukar cincin adalah boleh, asalkan tidak saling bersentuhan. Maka tukar cincin bisa dilakukan dengan cara berikut: ibu si laki-laki memakaikan cincin kepada si perempuan; ayah si perempuan memakaikan cincin kepada si laki-laki.

Setelah lamaran diterima, maka laki-laki dan perempuan yang bersangkutan memasuki masa khitbah. Ketika memasuki masa khitbah, ulama menganjurkan untuk lebih ketat dalam menjaga interaksi, karena bagaimanapun keduanya belum terikat dalam pernikahan, sehingga tetap harus menjaga seperti tidak keluar berduaan dsb. Selain itu, pada masa ini godaan syetan lebih besar untuk menghasut keduanya agar melakukan maksiat.  Hal ini dikarenakan syetan sangat khawatir akan pernikahan yang akan dilaksanakan keduanya, yang mana pernikahan merupakan penyempurna separuh agama. Oleh karena itu, hendaknya setelah lamaran diterima, disegerakan untuk melaksanakan akad.

Dalam sebuah hadist, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ramaikanlah pernikahan dan sembunyikanlah khitbah (lamaran).” Seorang ulama pengikut madzhab Imam Malik mengatakan bahwa disunnahkan untuk menyembunyikan khitbah. Pertimbangan bahwa khitbah sebaiknya disembunyikan antara lain karena: untuk melindungi jikalau ada orang hasud atau tidak suka dengan bersatunya kedua calon mempelai; khitbah adalah rencana, kita sebagai manusia tidak tahu apa yang akan terjadi sebelum akad. Jika kemungkinan terburuk tidak jadi menikah, setidaknya kedua calon mempelai tidak menanggung malu yang sangat besar karena hanya keluarga yang mengetahui.

---

Akhirnya, kita harus memahami bahwa misi mengapa kita menikah bukanlah semata untuk bahagia, namun untuk menjalankan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian lahirlah generasi-generasi muda yang nantinya turut meneruskan perjuangan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mengingat besar dan mulianya misi pernikahan, sudah semestinya kita menjemput jodoh kita dengan keimanan yang utuh, ilmu yang mumpuni, dan juga cara yang baik. Allahu a’lam

Senin, 26 November 2018

Lebih Baik Bersama


Menjadi penulis adalah cita-cita saya sejak kelas 1 SD. Seingat saya, waktu itu saya masih belum punya alasan khusus. Seiring berjalannya waktu, ketika saya sudah mulai beranjak remaja, saya semakin termotivasi untuk menjadi penulis karena saya ingin nama saya nangkring di toko buku. Cukup lama motivasi tersebut bersemayam dalam benak saya. Sampai akhirnya, setelah berbagai tempat saya kunjungi, banyak orang Allah pertemukan dengan saya, berbagai hikmah Allah hadirkan untuk mencerahkan hati dan pikiran, jadilah ‘penulis’ bukan lagi cita-cita saya, namun ‘menulis’ adalah jalan hidup saya. Kini, bagi saya ‘penulis’ bukanlah pekerjaan, namun ianya merupakan kewajiban yang didasari dengan semangat berbagi dan melanggengkan budaya para ulama salafussholih yang menjadikan menulis sebagai jalan hidup untuk menjaga warisan para nabi dan rasul berupa ilmu.

Dengan kemantapan itu, kemudian muncullah berbagai cita-cita. Salah satunya menulis buku. Alhamdulillah Allah mewujudkannya. Dalam waktu kurang lebih sembilan bulan (mulai dari menulis pertama sampai dijual di toko buku) lahirlah buku berjudul Setiap Detik Bersama Allah, yang diterbitkan oleh Gramedia. Meskipun masih banyak kurangnya dari segi sumber dan teknik penulisan, namun saya sangat bersyukur atas karunia ini.

Manusia berproses. Setelah mendengarkan banyak nasihat dan hakikat-hakikat baru melalui berbagai kajian, saya menjadi semakin ciut. Mendengarkan penjelasan para ulama’ dalam kitab-kitabnya selalu membuat saya merasa tidak pantas untuk menulis. Para ulama’ terdahulu telah menjelaskan banyak hal dengan sangat lengkap dan penuh keikhlasan. Sedangkan saya…masih perlu dipertanyakan dalam berbagai aspeknya. Masih perlukah saya menulis? Namun, ketika saya berpikir begitu, beberapa orang meyakinkan saya bahwa tulisan saya mungkin bisa menjangkau saudara-saudara yang belum sampai mengkaji kitabnya para ulama’. Baiklah, dari situ saya jadi semangat lagi, meskipun akhirnya saya merasa bahwa harus ada orang yang mumpuni secara ilmu untuk bisa mengoreksi tulisan saya. Hal ini ditegaskan oleh Ustadz Afri Andiarto, pada saat saya menyerahkan buku ‘Katanya Pengen Mondok?’ karya Thalib El-Dhiya’ (saya dan 23 teman saya yang lain) ketika pembinaan robithoh da’waturrasul. Masih dengan bahagia (beliau selalu senang ketika murid beliau menulis) beliau mengatakan yang kurang lebih intinya serahkanlah tulisanmu kepada gurumu sebelum dipublikasikan, agar gurumu bisa memeriksa jikalau ada isi yang salah. Sejak saat itu, menguatlah harap dalam diri saya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar bisa menulis dengan orang yang lebih berilmu.

Allah mewujudkannya. 'Beliau' (masih dirahasakan hehe), sosok yang saya ikuti akhlak dan ilmunya mengajak saya untuk bergabung dalam tim menulis yang berisi saya dan dua sosok lain (masih dirahasiakan juga hehe) yang keren di bidangnya masing-masing (maa syaa Allah). Buku yang ingin kami tulis bukanlah antologi, sehingga kami bekerja berdasarkan pembagian tugas. Alhamdulillah kami berempat sudah bertemu sekali, dan bertemu secara tidak full team tiga kali. Ketika bertemu, biasanya kami berdiskusi mengenai referensi. Saya merasa sangat bersyukur. Jika menulis buku sendiri, biasanya saya kebingungan untuk mengisi beberapa bagian, karena itu bukanlah bidang yang saya mampu, sehingga tak jarang akhirnya bagian itu saya hapus. Namun, dengan menulis bersama, kami bisa saling mengisi sehingga mewujudkan tulisan yang bernas. Inilah yang dimaksudkan oleh nasihat bijak jika kau ingin berjalan cepat, maka berjalanlah sendiri. Namun, jika kau ingin berjalan lebih jauh, maka berjalanlah bersama. Maksudnya, dengan berjalan bersama kita bisa meraih hal-hal yang tidak bisa kita capai bila sendirian. Iya, menulis sendiri memang lebih cepat (bagi orang yang sudah terbiasa menulis), karena tidak perlu menunggu teman-teman satu tim yang mungkin punya kesibukan lain, sehingga harus ada yang rela menjadi menyebalkan dengan terus menagihi teman-teman satu timnya hehe (pengalaman ketika menulis bersama Thalib El-Dhiya’). Tetapi, sekali lagi, perjuangan menulis bersama ini sebanding dengan hasil yang bisa kita dapatkan. Gara-gara itu, sekarang setiap ada ide untuk menulis buku, saya bergegas untuk mencari partner yang cocok. Saya nggak mau sendirian lagi, hehe.

Nah, indahnya berjamaah bukan hanya bisa diwujudkan dalam menulis kok, namun juga untuk hobi-hobi baik lain seperti memasak, videografi, olahraga, dan sebagainya. Jadi, apapun hobimu, jangan ragu untuk terus menebar kebaikan untuk umat lewat jama'ah-jama'ah kebaikan ya. Insyaa Allah.

Jumat, 08 Juni 2018

Pembuat Iri

Mari iri kepada mereka.
Ketika kita sibuk memikirkan 'aku nanti buka sama apa ya?', mereka sibuk memastikan bahwa jamaah akan mendapatkan hidangan terbaik untuk berbuka.
Ketika kita sibuk berebut bungkusan nasi untuk diri kita sendiri, mereka mengakhirkan makan sebab memastikan seluruh jamaah bisa berbuka dengan baik.

Mereka.
Kehadiran mereka kita tunggu seperti adzan maghrib.
Senyuman mereka saat menyambut kita seperti cerahnya rembulan yang menemani malam-malam tarawih kita.
Semangat mereka memberikan kehangatan layaknya sore hari di bulan ramadhan.
Mereka adalah orang-orang yang kita ingat sebagai bagian dari kenangan kita akan ramadhan tahun ini. Ramadhan yang setelah ini pergi.
Mereka adalah para pengurus langgar, musholla, dan masjid, khususnya pada ramadhan ini.

Mari iri kepada mereka. Mari iri kepada mereka dengan cara memanfaatkan waktu yang tersisa ini untuk menebar manfaat bagi orang lain. Mari menjadikan ramadhan ini berfaedah sekaligus berkesan baik, untuk diri sendiri maupun orang lain.

N.b: foto didapatkan dari Mbak Mariya, salah satu pengurus di Masjid UNAIR. Namun, 'mereka'  dalam tulisan ini berlaku untuk pemakmur rumah Allah d manapun berada

Jumat, 25 Mei 2018

Sidang Ulang: Hakikat dan Hikmahnya

Alhamdulillah alhamdulillah alhamdulillah.



Akhirnya segala persyaratan yang harus saya penuhi untuk mendaftar yudisium sebagian besar sudah saya selesaikan. Maka dari itu, kini saatnya saya menunaikan janji saya kepada secuil bagian dari orang-orang yang katanya sih ingin mengetahui cerita ini.

Perjalanan menyelesaikan skripsi ternyata adalah perjalanan yang panjang, setidaknya bagi saya. Mulai dari impian saya untuk lulus dalam tujuh semester yang kandas akibat kemalasan saya sendiri, sehingga saya harus berlapang hati mengganti tahun '2017' di cover menjadi '2018' sampai perjuangan mengerjakan skripsi di semester delapan, sidang pertama, sidang ulang, sampai akhirnya harus menuntaskan berkas-berkas persyaratan untuk yudisium dan wisuda. Rasanya benar-benar seperti berjalan di pematang sawah yang sangat sempit dan licin. Selangkah demi selangkah. Alhamdulillah akhirnya sampai juga.

Sebenarnya saya sudah menyusun cerita yang panjang untuk ini. Namun setelah saya pikir-pikir lagi, sepertinya lebih baik singkat tapi teman-teman atau adik-adik bisa mengambil hikmahnya.

Semester 7. Mimpi besar saya untuk lulus 3,5 tahun tidak diimbangi dengan usaha yang maksimal. Ketika harus baca jurnal atau referensi yang sebenarnya membutuhkan konsentrasi, saya masih sering terdistraksi oleh hal-hal yang tidak penting. Kalaupun akhirnya saya tidak terdistraksi, saya tidak menikmati proses membaca itu. Saya membacanya secara lompat-lompat. Jadilah banyak informasi yang miss dan... ya, itu justru membingungkan diri saya sendiri. Bingung itu bikin apa...? Ya, bingung itu bikin makin males buat mengerjakan . Solusinya? Solusi ini manjur sih buat saya: membuat catatan tentang inti setiap paragraf. Apalagi referensi kita kan kebanyakan bahasa inggris...sehingga kalau nggak dicatat bisa lupa dan amblas dari ingatan dan...ya bisa bikin males baca. 

Selain distraktor remeh temeh, ketika semester tujuh ini juga ada kegiatan yang sedang sangat saya minati dan itu membutuhkan waktu yang cukup banyak. Sulit bagi saya untuk meninggalkannya. Alhamdulillah orangtua juga tidak pernah melarang saya. Mungkin beliau berdua khawatir kalau saya justru semakin tertekan. Namun, lagi-lagi usaha saya nggak seimbang. Harusnya nih ya, kalau emang ada kegiatan lain yang menyita perhatian, saya harus lembur dong untuk mencapai target utama yaitu skripsi. Tapi saya? Enggak -_- Jam tidur dan bangun saya tetap-tetap saja. Jadi ya nggak heran kalau progres skripsi saya sangat lambat.

Berlalulah semester 7. Dari angkatan saya, ada 3 orang yang berhasil menyelesaikannya di semester 7. 

Semester 8. Lumayan seru, karena selama beberapa hari datang ke dua sekolah untuk mengambil data. Namun, ketika mulai analisis data pakai SPSS, saya banyak bingungnya. Bahkan untuk prinsip-prinsip yang sifatnya dasar. Mungkin karena dulu waktu kerja kelompok, bagian SPSS selalu kami serahkan kepada Husnul dan Sita ya. Jadi mbatin, "Selama kuliah ini saya ngapain aja sih wkwk." Adik-adik dan teman-teman, POKOKNYA INI JANGAN DITIRU. KERJAKAN TUGAS KELOMPOKMU DENGAN SEMAKSIMAL MUNGKIN. KALAUPUN ADA PEMBAGIAN TUGAS, JANGAN MASA BODOH DENGAN TEMAN SEKELOMPOKMU, SEKALIPUN DIA UDAH PINTER BANGET. Hehe. Yaaa...dan Allah pun memuliakan dua sahabat saya yang luar biasa itu. Mereka lulus dengan skripsi yang sangat bagus dan menuai apresiasi dari berbagai pihak. 

Setelah itu, saya mengerjakan pembahasan. Lumayan lama, karena harus membaca banyak literatur. Sampai akhirnya selesailah lima bab skripsi saya. Singkat cerita, sampai akhirnya saya bisa mengumpulkan skripsi final ke bagian akademik, saya harus melalui berkali-kali bimbingan-revisi-bimbingan-revisi. Thanks to Pak Iwan...yang sangat sabar dan mudah dihubungi.

Setelah itu menunggu jadwal sidang. Deg degan banget. Begitu tau jadwalnya, makin deg degan dan nano-nano banget rasanya. Antara seneng dan pengen nangis :") Mohon maaf saya memang nggak kabar-kabar ke semua orang, karena saya khawatir malah jadi beban yang dikabarin (sungkan kalau gak dateng dsb). Tapi ternyata orang-orang lebih seneng kalau dikabarin ya:') Mohon maaf, mohon maaf, mohon maaf. 

Hari H sidang-Jumat, 27 April 2018. Hari itu kedua orangtua saya datang. Juga keluarga Berkah KKN Kendung. Juga teman-teman saya yang lain, meskipun mungkin pada kesehariannya nggak begitu dekat. Sampai terharu :". Terimakasih yang sudah datang... Ayah-Bunda, Dek Opik, Husnul, Sita, Astri, Ajeng, Dek Aruni, Dek Yuhanisa, adek-adek SAPSI saya, Inun, Dewi, Ratu, Pradit, Ovi, Dilla, Astrid, Zakia, Nesya, Nailil, Venta, Eldatia. Juga seluruh sahabat yang lain yang memberikan dukungan setiap harinya, yang kalau saya sebutkan di sini, nggak cukup dan khawatir ada yang terlewat:") Terimakasih, terimakasih, terimakasih. Sidang berjalan dengan lancar, alhamdulillah. Saya bisa berdiskusi dengan dosen penguji dengan baik. Namun, ada beberapa kekurangan dari skripsi saya yang membuat dosen penguji tak habis pikir: saya tidak mencantumkan lampiran input jawaban subjek (menurut dua dosen penguji yang merupakan expert di bidang kuanti, hal ini penting--meskipun ya nggak semua expert kuanti bilang gitu sih), beberapa lembar awal tidak ada halamannya (saya juga nggak tau kenapa bisa kayak gini), poin hipotesis tidak ada (iya, ini parah banget. Tapi saya juga bingung kenapa bisa tiba-tiba menghilang), poin sebelum kerangka konseptual tidak ada (kalau ini karena saya 100% lupa), dan saya juga tidak mencantumkan blue print alat ukur (ini juga kesalahan saya sendiri yang kurang total dalam mencantumkan hal-hal yang semestinya dicantumkan). Kekurangan-kekurangan tersebut ialah sebab saya kurang totalitas dalam mengerjakan skripsi ini.

Setelah sesi diskusi selesai, saya dan teman-teman diminta untuk keluar ruangan ujian. Ketika di luar, kami ngobrol santai. Melihat dari lancarnya sidang, kami yakin bahwa saya akan lulus. 

Setelah itu, Pak Iwan memanggil saya untuk kembali ke ruangan ujian. Singkat cerita, dosen penguji mengumumkan bahwa saya harus sidang ulang sebab banyak hal yang musti saya lengkapi. 

Gimana rasanya waktu mendapatkan pengumuman tersebut? Di satu sisi saya merasa tidak percaya (karena berjalannya sidang sangat lancar), namun di sisi lain saya bisa memahami. Hal-hal yang belum saya lampirkan adalah hal-hal krusial yang tiadanya membuat penelitian saya patut dipertanyakan. Bahkan salah satu dosen penguji mengatakan, "Terus kami bisa percaya kalau Anda benar-benar melakukan penelitian dari mana?" Baik baik baik, alhamdulillah 'ala kulli haal. Nggak papa, ini sudah rezeki terbaik yang sudah Allah takarkan untuk saya.

Meskipun sedih, alhamdulillah orangtua saya bisa memahami. Juga teman-teman saya. Meski mereka sedih dan mungkin juga kasihan pada saya, namun mereka tetap berusaha menguatkan saya. Terimakasih terimakasih terimakasih.

Oh ya, for your information. Sidang ulang di fakultas saya memang beberapa kali terjadi. Untuk periode pengumpulan kemarin saja, ada beberapa orang yang harus sidang ulang. 

Karena ingin segera mendaftar sidang ulang, saya segera melakukan revisi. Gimana rasanya revisi untuk mengejar sidang ulang? Ya campur aduk juga hehe. Antara sedih, menggebu, dan juga seolah ingin menyerah. Selama proses revisi itu, saya sempat bertemu dengan beberapa kakak tingkat dan teman seangkatan yang sedang berusaha menyelesaikan skripsi maupun revisi. Dari beberapa pertemuan itu saya kembali agak percaya diri, sebab sebenarnya sidang ulang itu bukan berarti gagal, tapi bahwa dosen pengujimu ingin kamu mempresentasikan hasil revisimu. Selauin itu, status 'sidang ulang' juga bisa membuat saya lebih bersemangat untuk mengerjakan revisi :'

Singkat cerita, akhirnya saya sidang ulang pada tanggal 18 Mei kemarin dan alhamdulillah lulus. Sekali lagi, terimakasih untuk semua pihak yang sudah mendukung saya.  

Tujuan saya membuat tulisan ini ialah agar pembaca paham bahwa sulit atau mudahnya sesuatu juga sangat dipengaruhi dengan usaha kita untuk mencapainya. Adanya kebijakan sidang ulang yang sering diterapkan di fakultas kita tidak perlu membuat kita memandang bahwa 'lulus dari psikologi itu sulit', 'dosennya psikologi itu perfeksionis' dan sebagainya. Tapi karena memang ada prinsip-prinsip tertentu dalam bidang keilmiahan yang dipegang teguh oleh fakultas kita, yang itu sebenarnya untuk kebaikan kita juga. Percayalah. Seperti yang selalu saya katakan kepada adik-adik yang bertanya, "Mbak, kalau peminatan pendidikan dan perkembangan itu tugasnya banyak ta?", ialah: nggak ada peminatan yang tugasnya sedikit, semuanya tugasnya banyak, cuma beda bentuknya aja. Asalkan kita memang berminat pada peminatan itu, tugasnya yang banyak akan tetap kita ingin jalani. Begitu pula dengan stigma negatif terhadap mata kuliah atau dosen tertentu. Mari membiasakan membangun mindset positif, namun dengan tetap 'waspada'. Dan tentunya, totalitas lah dalam berkuliah!!!

Perjalanan yang panjang dan berliku ini mengajarkan saya banyak pelajaran. Tentang empati. Tentang sabar dalam proses. Tentang ridho sama ketetapan Allah. Tentang totalitas dalam melakukan sesuatu. Nilai-nilai ini membuat saya seperti menjadi Fatin yang cukup berbeda. Pede banget ya hehe. Alhamdulillah. Saya merasa berkembang. Mungkin ini ya, bahwa skripsi itu adalah proses pendewasaan.

Terakhir, saya ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah menjadi support system saya khususnya selama menempuh studi di Psikologi UNAIR. Semoga kita bisa terus bersaudara dalam kebaikan. Mohon maaf atas Fatin yang ruwet, mbingungi, gak jelas, dan semacamnya. Kalau kalian nggak memahami dan menerima Fatin, entahlah apa jadinya empat tahun saya di sini. Terimakasih terimakasih terimakasih. Terimakasih juga atas teman2 yang mendukung dan datang waktu saya sidang. Terharu banget. Meskipun sebelumnya tidak begitu dekat, karena saling mendukung buat sidang jadi bisa lebih dekat. Terimakasih telah memberikan dukungan kepada saya melalui berbagai bentuk. Semuanya adalah bentuk kasih sayang yang tiada ternilai harganya. Bunga, cokelat, pelukan, senyuman, doa, serta pesan-pesan yang disampaikan melalui chat adalah bentuk kasih kalian yang insyaa Allah tidak akan saya lupakan. Semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan yang tiada batasnya.

Kamis, 10 Mei 2018

Persimpangan Jalan

Bagaimana jika dalam perjalanan hidupnya, seseorang bertemu dengan sosok yang seolah begitu sempurna hingga membuatnya merasa seperti: "Dialah orangnya. Harus dia, pasti dia. Sifatnya, minatnya. Adalah entitas yang bisa menjadi pelengkap aku yang separuh. Tak ada yang lain" Hingga akhirnya ia sampai di persimpangan jalan yang menghadapkannya pada tiga pilihan: menyegerakan menjalin ikatan yang suci lagi diridhoi, menunda dengan benar-benar menjaga, atau menunda dengan setengah-setengah menjaga.

Pilihan mana yang diambilnya? Apapun keputusannya, hakikatnya sama, sederhana seperti ini (sumber Ustadz Salim A. Fillah)






Ah, bukankah sudah begitu jelas? :'(

*silakan bagi teman perempuan yang ingin berkonsultasi (pada diri yang sebenarnya berlumur dosa ini bisa melalui: fatinphilia3@gmail.com)

Minggu, 18 Februari 2018

Menduduki Ilmu


Menduduki Ilmu
Oleh: Fatin Philia Hikmah
Jika hati senantiasa berniat baik; Allah kan pertemukan ia dengan hal yang baik, orang-orang baik, tempat yang baik, dan kesempatan berbuat baik
-Ustadz Salim Akhukum Fillah-

Bismillah. Semoga kita senantiasa dalam keadaan berniat baik, termasuk ketika membaca tulisan ini. Sehingga sekalipun tulisan ini amat sederhana, dapat menjadi salah satu sebab kebaikan bagi pembaca maupun penulisnya. Insyaa Allah.

Kisah ini bermula  ketika UTS mata kuliah Psikologi Belajar (semester dua). Saya masuk ke ruangan ujian dengan membawa buku tebal milik perpustakaan. Setelah duduk di kursi sesuai nomor urut, saya membaca buku tersebut sekilas. Karena ingin mendinginkan kepala sebelum menghadapi soal-soal, saya tutup buku tersebut dan saya letakkan di jaring-jaring besi yang ada di bawah kursi.

"Eh, kok ditaruh bawah sih, Tin?" tanya Tsurayya Maknun alias Inun, teman yang duduk di samping saya.

"Nah terus mau ditaruh di mana, Nun?" tanya saya dengan heran.

"Ya jangan ditaruh di bawah pokoknya. Apalagi kamu duduk di atasnya. Itu kan ilmu."

Walaupun belum paham kenapa Inun bisa kukuh sekali, saya menurut. Saya meletakkan buku tersebut di tempat yang lebih pantas menurut Inun. Meskipun sebenarnya saya juga ingin bilang, "Kan di dalamnya sama sekali tidak ada ayat Al-Quran. Kan di dalamnya tidak disebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan beberapa tokoh yang ada di dalamnya tidak mengakui adanya Tuhan."

---

Saya masih belum tahu alasan Inun melarang saya hingga akhirnya saya menemukan jawabannya ketika saya menempuh mata kuliah Psikologi Ulayat. Tugas akhir semester mata kuliah ini adalah membuat proposal penelitian psikologi ulayat secara berkelompok. Setelah saling melontarkan ide judul proposal penelitian, akhirnya kami mantap dengan usulan salah satu dari kami, yaitu terkait fenomena ngalap berkah oleh para murid di pondok pesantren (santri). Kala itu saya bertugas untuk mencari tentang konsep berkah guna dicantumkan di bab dua (kajian pustaka). Teman saya memberikan beberapa daftar bacaan yang harus saya pelajari. Salah satunya adalah kitab (buku) Ta'lim Al-Muta'allim. Kitab yang berisi tentang adab pencari ilmu (murid/santri/siswa/mahasiswa) tersebut disusun oleh Imam Burhanul Islam Az-Zarnuji. Hingga akhirnya saya terhenti di fasal empat yang membahas tentang mengagungkan ilmu dan guru. Bab ini secara khusus mengajarkan kepada kita bahwa karena ilmu adalah cahaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala—sesuatu yang sangat agung, maka para pencari ilmu harus menjaga adab terhadap guru (penyampai ilmu) dan ilmu itu sendiri sebagai ikhtiar agar ilmu yang diperoleh berkah. Salah satu bentuk adab terhadap ilmu yaitu dengan memuliakan kitab atau buku. Berikut kutipannya:

اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم

 العلم وأهله، وتعظيم الأستاذ وتوقيره.

Penting diketahui, seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya dapat bermanfaat, selain jika mau mengagungkan ilmu itu sendiri, ahli ilmu, dan menghormati keagungan gurunya.

ومن التعظيم الواجب للعالم أن لا يمد الرجل إلى الكتاب ويضع كتاب التفسير فوق سائر الكتب [تعظيما] ولا يضع شيئا آخر على الكتاب.

Termasuk memuliakan yang harus dilakukan, hendaknya jangan membentangkan kaki ke arah kitab. Kitab tafsir letaknya di atas kitab-kitab lain, dan jangan sampai menaruh sesuatu di atas kitab.
Setelah membaca beberapa babnya, akhirnya saya paham alasan Inun dulu melarang saya meletakkan buku di bawah. Maka sejak saat itu kami berusaha menjaga sikap di depan buku-buku catatan kuliah kami, apalagi buku-buku yang di dalamnya banyak disebutkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’alaa dan sabda Rasulullah , apalagi buku-buku yang disusun oleh para ulama', apalagi di depan Al-Quranul karim. Dalam menyusunnya, kami berusaha untuk menjaga urutannya. Biasanya buku kuliah kami yang notabene adalah full pemikiran manusia kami letakkan paling bawah, kemudian di atasnya buku-buku agama yang disusun oleh penulis zaman now, kemudian buku-buku yang disusun oleh para ulama', baru kemudian Al-Quran. Pun dalam meletakkannya. Sebisa mungkin tidak meletakkannya hingga sejajar dengan kaki dan pantat. Tidak pula meletakkan benda apapun di atas buku-buku itu. Dalam salah satu majelis di Ulul ‘Azmi, Ustadz Afri Andiarto (semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjaga beliau) juga berpesan kepada kami, jangan sampai meletakkan buku di dalam jok sepeda motor untuk kemudian diduduki. Pun ketika hujan. Jangan menjadikan buku sebagai payung karena nanti akan membuat buku tersebut basah. Namun, peluklah buku tersebut agar tidak terkena hujan.

Mungkin timbul pertanyaan, nah terus kenapa buku psikologi barat yang di dalamnya nyaris tidak membahas tentang ketuhanan juga harus dihormati? Salah satu dosen kami pernah menjelaskan bahwa meskipun kebanyakan teori psikologi ditemukan oleh tokoh non muslim (yang bahkan sebagian akhlaknya tak patut dicontoh), namun sebenarnya temuan mereka tetaplah bagian dari kebesaran Allah SWT. Ilmu agama maupun umum semuanya adalah ilmu milik Allah SWT* sehingga tetap harus dimuliakan, meskipun tentu kedudukannya tidak setinggi ilmu agama**

*Kalaupun dalam psikologi barat ditemukan nilai-nilai yang menyimpang dari ajaran Islam, itu adalah bagian dari keberagaman hasil pemikiran manusia  yg terbatas (kesalahan itu datangnya dari diri manusia itu sendiri, bukan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Sungguh, Allah Subhanahu Wa Ta’ala  dan rasul-Nya berlepas diri dari itu dan kebenaran itu hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi, supaya kita selalu dibimbing-Nya, jangan lupa ikut kajian juga ya J
**Sebab ilmu agama bersumber dari firman Allah SWT, sabda Rasulullah SAW, dan penjelasan para ulama'. Begitu pentingnya ilmu agama, sampai ada ilmu agama yang wajib untuk dipelajari, misalnya fiqih bersuci, fiqih sholat, fiqih muamalah. Sementara ilmu umum hampir dari pemikiran manusia yang sangat mungkin tercampuri nafsu duniawi.

Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu -Imam Syafi'i rahimahullah-

Wallahu a'lam bisshawwab