Menduduki Ilmu
Oleh: Fatin Philia Hikmah
Jika hati senantiasa berniat baik; Allah kan pertemukan ia dengan hal
yang baik, orang-orang baik, tempat yang baik, dan kesempatan berbuat baik
-Ustadz Salim Akhukum
Fillah-
Bismillah. Semoga kita senantiasa
dalam keadaan berniat baik, termasuk ketika membaca tulisan ini. Sehingga
sekalipun tulisan ini amat sederhana, dapat menjadi salah satu sebab kebaikan
bagi pembaca maupun penulisnya. Insyaa Allah.
Kisah ini bermula ketika UTS mata kuliah Psikologi Belajar (semester
dua). Saya masuk ke ruangan ujian dengan membawa buku tebal milik perpustakaan.
Setelah duduk di kursi sesuai nomor urut, saya membaca buku tersebut sekilas.
Karena ingin mendinginkan kepala sebelum menghadapi soal-soal, saya tutup buku
tersebut dan saya letakkan di jaring-jaring besi yang ada di bawah kursi.
"Eh, kok ditaruh bawah sih,
Tin?" tanya Tsurayya Maknun alias Inun, teman yang duduk di samping saya.
"Nah terus mau ditaruh di
mana, Nun?" tanya saya dengan heran.
"Ya jangan ditaruh di bawah
pokoknya. Apalagi kamu duduk di atasnya. Itu kan ilmu."
Walaupun belum paham kenapa Inun
bisa kukuh sekali, saya menurut. Saya meletakkan buku tersebut di tempat yang
lebih pantas menurut Inun. Meskipun sebenarnya saya juga ingin bilang,
"Kan di dalamnya sama sekali tidak ada ayat Al-Quran. Kan di dalamnya
tidak disebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan
beberapa tokoh yang ada di dalamnya tidak mengakui adanya Tuhan."
---
Saya masih belum tahu alasan Inun
melarang saya hingga akhirnya saya menemukan jawabannya ketika saya menempuh
mata kuliah Psikologi Ulayat. Tugas akhir semester mata kuliah ini adalah
membuat proposal penelitian psikologi ulayat secara berkelompok. Setelah saling
melontarkan ide judul proposal penelitian, akhirnya kami mantap dengan usulan salah
satu dari kami, yaitu terkait fenomena ngalap
berkah oleh para murid di pondok pesantren (santri). Kala itu saya bertugas
untuk mencari tentang konsep berkah guna dicantumkan di bab dua (kajian
pustaka). Teman saya memberikan beberapa daftar bacaan yang harus saya
pelajari. Salah satunya adalah kitab (buku) Ta'lim Al-Muta'allim. Kitab yang
berisi tentang adab pencari ilmu (murid/santri/siswa/mahasiswa) tersebut
disusun oleh Imam Burhanul Islam Az-Zarnuji. Hingga akhirnya saya terhenti di
fasal empat yang membahas tentang mengagungkan ilmu dan guru. Bab ini secara
khusus mengajarkan kepada kita bahwa karena ilmu adalah cahaya Allah Subhanahu
Wa Ta’ala—sesuatu yang sangat agung, maka para pencari ilmu harus
menjaga adab terhadap guru (penyampai ilmu) dan ilmu itu sendiri sebagai
ikhtiar agar ilmu yang diperoleh berkah. Salah satu bentuk adab terhadap ilmu
yaitu dengan memuliakan kitab atau buku. Berikut kutipannya:
اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا
ينتفع به إلا بتعظيم
العلم وأهله، وتعظيم
الأستاذ وتوقيره.
Penting diketahui, seorang pelajar tidak akan memperoleh
kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya dapat bermanfaat, selain jika mau
mengagungkan ilmu itu sendiri, ahli ilmu, dan menghormati keagungan gurunya.
ومن التعظيم الواجب للعالم أن لا يمد
الرجل إلى الكتاب ويضع كتاب التفسير فوق سائر الكتب [تعظيما] ولا يضع شيئا آخر على
الكتاب.
Termasuk memuliakan yang harus dilakukan, hendaknya jangan
membentangkan kaki ke arah kitab. Kitab tafsir letaknya di atas kitab-kitab
lain, dan jangan sampai menaruh sesuatu di atas kitab.
Setelah membaca beberapa babnya, akhirnya saya paham alasan
Inun dulu melarang saya meletakkan buku di bawah. Maka sejak saat itu kami
berusaha menjaga sikap di depan buku-buku catatan kuliah kami, apalagi
buku-buku yang di dalamnya banyak disebutkan firman Allah Subhanahu
Wa Ta’alaa dan sabda Rasulullah ﷺ,
apalagi buku-buku yang disusun oleh para ulama', apalagi di depan Al-Quranul
karim. Dalam menyusunnya, kami berusaha untuk menjaga urutannya. Biasanya buku
kuliah kami yang notabene adalah full pemikiran manusia kami letakkan paling
bawah, kemudian di atasnya buku-buku agama yang disusun oleh penulis zaman now,
kemudian buku-buku yang disusun oleh para ulama', baru kemudian Al-Quran. Pun
dalam meletakkannya. Sebisa mungkin tidak meletakkannya hingga sejajar dengan
kaki dan pantat. Tidak pula meletakkan benda apapun di atas buku-buku itu.
Dalam salah satu majelis di Ulul ‘Azmi, Ustadz Afri Andiarto (semoga Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menjaga beliau) juga berpesan kepada kami, jangan sampai
meletakkan buku di dalam jok sepeda motor untuk kemudian diduduki. Pun ketika
hujan. Jangan menjadikan buku sebagai payung karena nanti akan membuat buku
tersebut basah. Namun, peluklah buku tersebut agar tidak terkena hujan.
Mungkin timbul pertanyaan, nah terus kenapa buku psikologi
barat yang di dalamnya nyaris tidak membahas tentang ketuhanan juga harus
dihormati? Salah satu dosen kami pernah menjelaskan bahwa meskipun kebanyakan
teori psikologi ditemukan oleh tokoh non muslim (yang bahkan sebagian akhlaknya
tak patut dicontoh), namun sebenarnya temuan mereka tetaplah bagian dari
kebesaran Allah SWT. Ilmu agama maupun umum semuanya adalah ilmu milik Allah
SWT* sehingga tetap harus dimuliakan, meskipun tentu kedudukannya tidak
setinggi ilmu agama**
*Kalaupun dalam psikologi barat ditemukan nilai-nilai yang
menyimpang dari ajaran Islam, itu adalah bagian dari keberagaman hasil
pemikiran manusia yg terbatas (kesalahan
itu datangnya dari diri manusia itu sendiri, bukan dari Allah Subhanahu Wa
Ta’ala). Sungguh, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dan rasul-Nya berlepas diri dari itu dan kebenaran itu hanya milik Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi, supaya kita selalu dibimbing-Nya, jangan lupa ikut
kajian juga ya J
**Sebab ilmu agama bersumber dari firman Allah SWT, sabda
Rasulullah SAW, dan penjelasan para ulama'. Begitu pentingnya ilmu agama,
sampai ada ilmu agama yang wajib untuk dipelajari, misalnya fiqih bersuci,
fiqih sholat, fiqih muamalah. Sementara ilmu umum hampir dari pemikiran manusia
yang sangat mungkin tercampuri nafsu duniawi.
Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah dengan
ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu -Imam
Syafi'i rahimahullah-
Wallahu a'lam bisshawwab