tag:blogger.com,1999:blog-78295720902717199942024-02-22T05:23:38.070-08:00Melukis di LangitFatin Philia Hikmah's BlogFatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.comBlogger37125tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-40750919499970524662021-10-19T05:36:00.002-07:002021-10-19T05:36:35.505-07:00Antara Cepat dan LambatSebagian dari mereka yang berjalan lebih lambat mengatakan bahwa cepat tidak selalu tepat. Namun sayangnya, ia menerapkannya juga untuk orang lain. Ia menghakimi kawannya yang berjalan dan/atau sampai lebih cepat.<div><br /></div><div>Sebagian dari mereka yang berjalan lebih cepat mengatakan bahwa usaha adalah satu-satunya penentu kesuksesan. Ia lupa, bahwa sebenarnya bukan dia yang hebat, tapi Tuhan yang memudahkan semuanya. Semata-mata untuk mengujinya. Jika tak mampu bijaksana, manusia tak perlu banyak bertanya mengapa dan mengapa.</div><div><br /></div><div>Malang, 19 Oktober 2021</div>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-58799226639753702352021-07-02T06:36:00.001-07:002021-07-02T06:36:47.346-07:00KATA ITU LAGIIII :(<p> Kayaknya sekarang "semua orang" insecure ya.</p><p>Atau manusia selalu punya "insecure-nya" masing-masing?</p><p>Nggak papa sih.</p><p>Akui.</p><p>Terima.</p><p>Tapi habis itu jangan lupa untuk menghadapi.</p><p>Berusaha bertahan atau bahkan jadi lebih baik. </p>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-49092064273364415592021-06-12T05:45:00.004-07:002021-06-12T05:45:50.526-07:00Catatan Konseling FatinBismillah<div><br /></div><div>Sekarang aku sedang Praktek Kerja Profesi Psikologi (PKPP). Salah satu tugasku adalah menangani kasus-kasus psikologis dalam konteks pendidikan (karena aku mengambil mayoring psikologi pendidikan). Oleh karena itu, aku jadi sering melakukan konseling sekarang, yang dari sana aku belajar banyak hal. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengabadikan catatan-catatan sederhanaku di sini. Catatan ini insyaaAllah akan selalu aku update. <br /><div><br /></div><div>---<h2 style="text-align: left;">Konselor Introvert</h2><div>Sebagai seseorang yang sangat introvert, aku sering merasa nggak ingin ketemu orang. Entah karena capek, lagi pengen merenung sendiri, atau ya...pokoknya lagi nggak mood aja 😄. Apalagi untuk konseling, yang mana aku bukan hanya dituntut untuk sekedar ketemu dan ngomong santai. Aku dituntut untuk mengatur proses ngobrol yang ada untuk membawa klien selangkah lebih maju. Aku harus mendengarkan dan memberikan tanggapan yang sesuai. </div><div><br /></div><div>Nah, perasaan itu tak jarang muncul ketika aku sudah janjian sama klien, yang mana itu berarti demi etika aku tidak mungkin tiba-tiba membatalkan 😂. Yaudah harus tatag. Alhamdulillah...karena memang psikologi ini adalah bidang ilmu yang aku sukai, sesaat sebelum konseling, apalagi ketika sudah berhadapan langsung dengan klien, aku seperti mendapatkan energi baru. Tanggung jawab dan kasih sayang kepada sesama manusia kuncinya.</div><div>---</div><h2 style="text-align: left;">Makan Bakso</h2><div>Jangan makan bakso sebelum konseling, biar mulut nggak berminyak, yang akhirnya bikin nggak plong waktu ngomong. Bisa disiasati dengan bawa sikat dan pasta gigi, jadi bisa menjaga kebersihan mulut supaya konselingnya nyaman. Pastikan juga masker yang digunakan bersih (biar nyaman juga buat ngomong).</div></div></div><div>---</div><h2 style="text-align: left;">Biar Awet Muda</h2><div>Kata supervisorku selama PKPP di Pusat Layanan Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (PLP UMM), konseling itu bikin awet muda. Salah satunya karena Bu Putri mendapatkan kebahagiaan yang sulit terkatakan ketika melihat wajah cerah klien ketika keluar dari ruang konseling 💖.</div><div><br /></div>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-83115887530500828382021-02-13T15:25:00.000-08:002021-02-13T15:25:10.228-08:00Terima Kasih!<p> Sudah hari ke empat 14 dari bulan kedua di tahun yang baru. </p><p><br /></p><p>Terima kasih sudah mau melangkah sejauh ini.</p><p><br /></p><p>Terima kasih sudah berani mengunci pintu dari hal-hal yang tidak sepatutnya diharapkan.</p><p><br /></p><p>Terima kasih sudah mau membagi waktu dengan cukup baik.</p><p><br /></p><p>Terima kasih sudah mau mendengarkan orang lain, meskipun belum sepenuhnya sesuai dengan target yang kamu inginkan.</p><p><br /></p><p>Suatu hari nanti, kamu mungkin akan merindukan hari ini. Tetaplah semangat. Hidupmu amat berarti. </p>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-15594157213138751612020-12-11T08:35:00.001-08:002020-12-11T08:35:14.014-08:00Cinta yang Tak Terbendung<p>Ada yang tak bisa membendung cintanya, hingga lahirlah Qasidah Burdah, Maulid Diba', Qasidah "Yaa Arhamaraahimin", Maulid Al-Barzanji, Maulid Simthudduror, Maulid Ad-Dhiyau Lami...</p><p>Maka betapa cinta membuat hati bersenandung untuk selalu menyebut dan mengagungkan. Duhai hati, untuk siapakah senandung cintamu selama ini?</p>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-2777093430604622902020-12-06T16:33:00.004-08:002020-12-06T16:45:51.672-08:00Ketika Usiamu 25 Tahun<p>Bismillah</p><p>Ketika aku berulang tahun yang ke 25 pada 14 November kemarin, sebakda subuh-belum selesai wirid beliau-Bunda lah yang pertama menyalamiku untuk mengucapkan selamat ulang tahun, kemudian dengan tatapan berbinar-binar mengucapkan doa-doa. Aku lupa lafal pastinya bagaimana, namun yang kuingat ialah Bunda berharap agar studiku lancar dan lancar pula urusan....ya, jodoh. Begitu pula ketika sore hari sebuah tumpeng dengan tulisan "Barakallah fii Umrik Fatin Philia H." mendarat di rumah. Setelah kami membaca doa yang dipimpin oleh Ayah, dengan piring di tangan dan wajah berbinarnya Bunda menoleh kepadaku yang duduk di samping beliau, "Semoga lancar semuanya ya Nduk..." </p><p>Dalam "aamiin" yang aku ucapkan, sebenarnya yang terbersit dalam hati adalah, "Ya Allah, kabulkanlah doa orang tua hamba dan jangan biarkan tertundanya karunia membuat sabar, syukur, dan yakin kami kepada-Mu menjadi pupus." Karena bagiku, dan mungkin hampir semua anak merasakannya, ketika kesabaran akan penantian itu sudah mulai mantap, merasakan kesedihan orang tua membuka ruang sesak baru dalam hati.</p><p>Bunda mungkin tak mengira bahwa kehadiran Bunda, Ayah, dan Dek Opik adalah nikmat besar yang sangat dan harus aku syukuri. Terlebih ketika di masa pandemi ini, tak terhitung orang kehilangan orang tuanya, kehilangan saudaranya, bahkan kehilangan harapan. Rasanya aku sudah sangat kurang ajar, ketika aku berani merenungkan cita-citaku yang belum tercapai. Bahkan aku sadar betul bahwa rasa syukurku atas hal-hal yang sudah ada masih sangat sangat sangat kurang. </p><p>Maka kini, pada hari-hari ketika aku mau tak mau harus mengatakan, <i>teman SMA, teman MTs, </i>atau <i>teman kuliahku </i>menikah kepada Ayah dan Bunda; bahkan bukan hanya teman-teman yang seusia denganku, tetapi juga teman-temannya Dek Opik, juga teman-teman seusia Ayah dan Bunda yang mantu. aku merasakan dalam keheningan aku mendengar pertanyaan, "Lalu anakku kapan?" </p><p>Aku sungguh memahami keresahan yang Ayah dan Bunda rasakan sebagai orang tua, namun aku takut pada akhirnya keresahan itu membuat kita lupa bersyukur tentang buanyak sekali nikmat yang sudah Allah berikan. Bahkan rasanya aku tak sanggup menyebutkan tentang beragamnya kondisi teman-temanku saat ini. </p><p>Aku sangat-sangat memahami, ujian kesabaran yang ada dalam masa penantian menunggu jodoh terdiri beberapa dimensi kemanusiaan. Tujuan utamanya memang menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam; namun ia juga mewakili manusia sebagai makhluk psikologis, makhluk biologis, dan juga makhluk sosial. Menikah sebagai ibadah memang bukan sesuatu yang ringan. Makanya lucu banget sebenarnya ketika ada mahasiswa yang bilang, "Duh, aku capek kuliah, pengen nikah aja." Padahal dengan menikah, tugas yang harus diemban bukan hanya semakin banyak, tapi juga semakin besar. Namun betapa agungnya Allah yang mengatur fitrah manusia: adanya rasa kosong ketika belum memiliki pasangan, adanya kecenderungan untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain. Sekalipun kita sudah memahami hakikat keagungan pernikahan, tetapi terkadang kondisi sosial membuat kita lupa, jadinya pengen "ndang-ndangan" biar nggak ditanya-tanyai lagi. Padahal pertanyaan kapan itu tidak akan pernah menemui ujungnya selama kita masih hidup di dunia. </p><p>Maka aku berharap agar aku sendiri dan kita semua lebih bisa menghargai dan mensyukuri apa yang sudah ada sekarang. Karena dengan mencari-cari yang belum ada, maka yang ada tak terasa nikmat dan yang belum ada belum tentu hadir. </p><p>Semoga kita lulus dengan predikat cumlaude dalam menghadapi ujian syukur dan sabar ini. </p><p>Dan ucapkanlah: ALHAMDULILLAH...atas segala nikmat yang Allah berikan...</p>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-69302429426082840792020-11-19T07:06:00.002-08:002020-11-19T07:06:20.366-08:00Habis Nikah<p> Bismillah</p><p>Barusan ketika aku scrolling status whatsapp, aku baca status seseorang yang barusan menikah, yang lewat statusnya tersebut ia curhat tentang betapa rindunya ia dengan kehidupannya yang dahulu, sebelum pindah keluar kota demi mengikuti sang suami. Dulu sebelum menikah, statusnya agak galau galau gimana gitu menanti jodoh. Sekarang begitu sudah ketemu dengan jodoh, galaunya nggak hilang, tapi berganti ke bentuk yang lain. </p><p>Aku jadi refleksi ke diriku sendiri. </p><p>Se-nggak-pernah-puas-itu-ya-makhluk-bernama-manusia-ini?</p><p>Manusia akan selalu berusaha mengejar sesuatu yang sedang tidak ada dalam genggamannya. Ternyata makna "tidak ada dalam genggaman" itu bukan hanya terhadap hal-hal yang belum pernah dimiliki, tapi juga pada apa-apa yang pernah dimiliki.</p><p>Semakin mendapat, maka semakin ingin yang lebih banyak. Treadmill effect. </p><p>Jadi inget sama salah satu ayat di Al-Baqarah: waskuruu lillaahi in kuntum iyyaahu ta'buduun~ dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.<br /><br />Astaghfirullah~</p>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-70653402966996901782020-10-17T04:03:00.002-07:002020-10-17T04:03:51.639-07:00Sisi "Nggak Enak" dari Menjadi Mahasiswa Psikologi<p>Sore ini, seorang kawan di salah satu grup Whatsapp "berkonsultasi" kepadaku dan Husnul (saat ini Husnul sedang menempuh magister profesi psikologi mayoring pendidikan di UI) tentang suatu "kasus" yang berkaitan dengan psikologi pendidikan. Kawan tersebut menguraikan karakteristik kasus yang dihadapinya dan ia meminta tips dari kami, saran apa yang bisa kami berikan untuk " kasus" tersebut.</p><p>Ah. Saran. Tips. Solusi. Sesuatu yang selalu "diminta" oleh masyarakat kepada kami, mahasiswa psikologi, apalagi aku sekarang sudah di level magister, profesi pula. Suka tak suka, mau tak mau, aku harus terbiasa dengan pertanyaan ajaib, "Terus aku harus gimana?" yang sebagian orang meyakini bahwa mahasiswa psikologi tahu semua jawaban. </p><p>Pertanyaan dari seorang kawan sore ini menyadarkanku bahwa kuliah itu bukan buat keren-kerenan. Bukan supaya diundang jadi pembicara di mana-mana, dianggap ahli, ada keterangan yang "keren" yang membersamai nama kita beserta gelarnya. Namun, itu adalah "beban". Tanggung jawab. Ada tuntutan tak kasat mata untuk mengikuti perkembangan informasi, terus banyak membaca referensi ilmiah terpercaya, banyak mendengar, dan tentu mengamalkan ilmu. </p><p>Jadi, diriku, apa kamu berani merasa "bangga" dengan gelar yang kamu miliki?</p><p>Malang, 17 Oktober 2020</p>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-36024150750377439632020-10-16T09:19:00.002-07:002020-10-16T09:19:32.879-07:00Branding Diri Ala Para Kekasih AllahHari Ahad 2 pekan yang lalu, aku mengikuti Majelis Syahriyah ROBWAH Foundation. Seperti namanya, majelis ini diadakan satu kali setiap bulannya khusus untuk keluarga besar ROBWAH Foundation. Pada pembukaan majelis yang diadakan secara online tersebut, Ustadz Afri menugaskan Mas Faishol untuk menyenandungkan beberapa bait dari qasidah "Yaa Arhamarrahimin..."<div><br /></div><div>Sebakda itu, Ustadz Afri sedikit bercerita tentang Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, sang penulis qasidah Yaa Arhamarrahimin tersebut. Tentang betapa ikhlasnya beliau. Dengan keikhlasan itu, Allah menjadikan qasidah karya beliau menyejarah, terus hidup melintasi waktu ratusan tahun meskipun beliau kini sudah menghadap Allah, menggaung hingga ke daerah-daerah pelosok. Ustadz Afri pun kemudian menyebut nama sosok-sosok lainnya seperti Imam Syafi-i dan imam-imam lainnya, yang karya dan manfaatnya terus menyebar melintasi ruang dan zaman. </div><div><br /></div><div><b><i>Mereka itu sibuk mem-branding diri di hadapan Allah. Fokus mereka adalah bagaimana agar Allah ridho. Hingga Allah pun cinta kepada mereka. Maka seketika itu pula seluruh penduduk langit dan bumi turut mencintai mereka. Itulah mengapa meskipun kita belum pernah berjumpa dengan mereka, kita mencintai mereka.</i></b></div><div><b><i><br /></i></b></div><div>Nyes....maa syaa Allah...Hari-hari ini mungkin kita dibuat penat dengan berbagai teori dan pembicaraan soal branding diri; disibukkan dengan perkara like, viewer, subcriber, dan semacamnya; maka kita mendapatkan ketenangan kembali dengan belajar dari para kekasih Allah tersebut. Bahwa tugas kita adalah fokus berbuat kebaikan semampu kita. <br /></div><div><br /></div><div>Malang, 16Oktober2020</div>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-77108224683606538182020-10-12T23:12:00.001-07:002020-10-12T23:12:49.004-07:00Ketika Buku Katarsis Dibedah Oleh Ustadz Khaliel Anwar<p>Sebagaimana seorang anak yang tentu ingin menunjukkan ijazah yang didapatkannya kepada orang tuanya yang berjasa besar atas diraihnya ijazah tersebut, maka begitulah saya ketika buku Katarsis ini alhamdulilah rilis. Saya ingin sekali mengirimkan buku ini kepada salah dua orang tua saya di Surabaya, yang berjasa sangat besar bagi hidup saya, yaitu Ustadz Anwar dan Ustadz Afri sebagai bentuk terimakasih dan ngalap berkah. Kan seneng ya kalau ada nama kita di rak buku beliau, berjajar bersama kitab-kitab yang beliau gunakan untuk mengajar. Saya pernah melihat secara langsung buku yang saya tulis ada di rak buku Ustadz Afri...rasanya... :') Maa syaa Allah. </p><p>Sebelumnya saya izin dulu apakah beliau berkenan. Karena sesungguhnya saya sungkan. Merasa tidak pantas. Takut juga macam orang minta di-endorse :"). Sempat kepikiran juga mau bilang, "Jangan dibuat status ya Ustadz" (saking takutnya mirip sama orang minta diiklankan)😂 tapi kok ya nggak sopan wkwk. Apa yang saya takutkan pun terjadi. Ustadz Anwar dan Ustadz Afri mengunggah tentang buku ini melalui status WhatsApp beliau, yang mana itu akhirnya membuat saya sulit memejamkan mata 😆</p><p>Bahkan tak lama setelah Ustadz Anwar membaca buku ini sekilas, beliau menyampaikan, "Kalau berkenan saya ingin membedah buku ini lewat acaranya hubb.id."</p><p>Rendah hati sekali beliau, menyelipkan kata, "Kalau berkenan," Padahal ya tentu berkenan sekali :")</p><p>Alhamdulillah pada hari Jumat 9 Oktober yang lalu acara bedah buku tersebut sudah dilakukan. Buat yang penasaran bisa cek di YouTube "Robwah Foundation", di playlist "Sharing Hikmah Buku". Tapi buat yang ga kuat nonton sampai selesai sesi diskusi, disarankan menunggu saat yang tepat untuk bisa menyimak secara tuntas, karena pembahasannya agak tricky jadi harus ngikuti sampai selesai 😀👍</p><p><a href="https://www.youtube.com/watch?v=57EV1O8htLU&t=5519s" target="_blank">Sharing Hikmah Buku "Bait Cinta Sang Musafir" dan "Katarsis: Membereskan Beban Hati"</a></p><p>Terlepas dari isi atau hikmah bukunya, hikmah yang saya dapatkan dari diskusi bersama Ustadz Anwar ialah semakin dalam keilmuan seseorang, akan semakin besar pula cintanya kepada sesama yang itu terimplementasikan dalam kemauan untuk mendengarkan, memahami, dan memaklumi. </p>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-77392627591843057072020-10-11T08:38:00.002-07:002020-10-11T08:38:47.701-07:00Bedah Buku: Munculkan Secuil Aja Biar Penasaran Atau...<p>Bismillah</p><p>Hari ini aku bersama dua penulis buku "Katarsis: Membereskan Beban Hati" lainnya yaitu Husnul dan Sita mendapatkan kesempatan untuk berbagi dalam webinar yang diadakan oleh Go English. Kami mempresentasikan sebagian (karena waktunya terbatas) materi buku kami dengan menyorot topik "Cerdas Kelola Emosi: Agar Kamu Nggak Nyesek Lagi". </p><p>Sesi presentasi kami dibuka oleh Sita yang berbicara tentang bagaimana <i>irrational belief </i>menjadi salah satu penyebab kita mengalami "nyesek". Menurutku, Sita membawakan materi dengan sangat menawan, maa syaa Allah. Menyimaknya ibarat sedang mendengarkan seorang penyiar radio yang sudah berpengalaman. Aku yakin para peserta webinar yang mayoritas adik-adik SMA itu pun terpesona. </p><p>Setelah itu, tibalah giliranku yang sudah lumayan grogi menyimak Sita, khawatir aku terlalu njomplang darinya. Aku kebagian menjelaskan tentang penyebab "nyesek" lainnya yaitu ruminasi, supresi, dan represi sampai ke definisi katarsis. Aku belibet banget guys ngomongnya :')) Mungkin karena aku sudah terpesona sama Sita yang luwes banget, sehingga mungkin secara tidak sadar aku menuntut diriku untuk bisa seperti itu, padahal jelas style kami itu berbeda...alhasil belibet lah akhirnya. Huhu...sedih...</p><p>Kemudian giliran Husnul yang menjelaskan tentang apa dan bagaimana melakukan teknik katarsis secara sehat. Penjelasan Husnul memberikan pencerahan kepada peserta tentang beragam pilihan teknik katarsis yang bisa mereka lakukan. Husnul juga keren banget, maa syaa Allah. Santai bwanget pembawaannya, tapi pesannya nyampe. </p><p>Selepas sesi penyampaian materi oleh kami bertiga, akhirnya masuk ke sesi tanya jawab. Ada beberapa pertanyaan menarik yang masuk, dan alhamdulillah semuanya dapat dijawab dengan baik (oleh Husnul dan Sita wkwk). Melihat jawaban kedua teman yang ces pleng tersebut, moderator spontan menanyakan kontak kami jikalau adik-adik remaja tersebut membutuhkan teman untuk berbagi secara tepat. Alhamdulillah ada Sita (wkwkw), yang saat ini sedang menjalani tugasnya sebagai konselor sebaya di lembaga konsultasi psikologi BE Psychology Kediri, yang menerima konsultasi secara gratis.</p><p>Udah gitu aja sih ceritanya hehe. Alhamdulillah diberikan kesempatan untuk berbagi hehehe.</p><p>***CERITA DI BALIK LAYAR***</p><p>Pada saat kami mendapatkan undangan untuk berbagi tentang buku kami, muncul diskusi dalam grup WhatsApp kami: "Apakah sebaiknya kita memunculkan bagian-bagian tertentu saja sehingga orang akan penasaran dan membeli buku kami, atau bagaimana?"; sampai akhirnya kami sampai pada satu kesepakatan: berikan sebanyak yang bisa kita berikan, soal ada yang beli atau tidak, itu adalah rezeki yang sudah diatur, yang penting kita jangan sampai menyembunyikan ilmu. <br /></p>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-70534223136809330332020-07-02T18:46:00.000-07:002020-07-02T18:56:55.972-07:00Laki-laki Pertama yang Mengetuk PintuTeman-teman yang berusia 23-an ke atas, apalagi sudah lulus kuliah, biasanya kegalauan soal jodoh cukup mendominasi hari-harinya. Hal ini bisa dimaklumi, karena selain merupakan ibadah yang sangat agung yang membutuhkan ilmu dan banyak kesiapan, pernikahan juga mengandung unsur pemenuhan kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial. Jadi... meskipun para senior kita yang sudah menikah sering mengingatkan bahwa nikah itu perjuangan, pasti ada masalah yang akan menerpa, banyak penyesuaian yang harus kita lakukan; pada akhirnya yang mendominasi benak kita adalah manis-manisnya.<br />
<br />
Setiap orang memiliki jalan ceritanya masing-masing dalam bertemu dengan jodohnya. Asalkan jalan yang ditempuh dalam menjemput jodoh tidak melanggar syariat, kita bisa mengambil hikmah dari setiap cerita tersebut. Ada yang sama sekali nggak ada pikiran untuk menikah, tapi tiba-tiba orang yang tepat itu datang. Ada yang sudah berusaha semaksimal mungkin tapi selalu berakhir kandas. Ada yang sudah terasa mantep banget dengan seseorang, tapi ternyata yang berani menyatakan duluan justru orang yang lain. Dan sebagainya. Selama kita nggak melanggar aturan Allah, kita perlu mensyukuri jalan yang harus kita lalui.<br />
<br />
Nah kali ini aku mau cerita tentang seorang kawan yang beberapa hari lalu mengabarkan bahwa ia akan menikah beberapa pekan lagi. Kawanku ini adalah seorang aktivis di kampus. Sebagai aktivis, apalagi dia beberapa kali menempati posisi strategis, dia sering dijodohkan dengan si A, si B, dan si C oleh kawan-kawannya. Entah mengapa kami senang sekali menebak-nebak, siapa di antara teman laki-laki kami yang beruntung bisa menjadi pasangannya*. Tapi ternyata, nama yang bersanding dengannya di undangan tersebut bukanlah nama yang kami kenal.<br />
<br />
Usut punya usut, ternyata memang kawanku tersebut memiliki prinsip bahwa ia tidak menggantungkan harapannya pada seorang laki-laki. Ia akan menikah dengan laki-laki pertama yang mengetuk pintu dan ia cocok. Dari cerita tersebut, aku teringat pula dengan seorang kakak tingkat yang orangnya kalem sekali. Cerita beliau bertemu dengan jodohnya itu simpel buanget. Gak galau-galau lah pokoknya. Adanya masalah itu pasti, tapi nggak sampai berlarut-larut.<br />
<br />
Dua kisah tersebut bagiku pribadi sangat menggugah hati. Aku tersentuh. Oh ini lho yang dimaksud dengan "Allah sesuai prasangka hamba." Kalau ada yang mikir jodoh itu ribet, ya ribet beneran. Na'udzubillah T_T. Kalau ada yang berpikir bahwa menjemput jodoh itu harus lewat pacaran, kalau enggak ya nggak ketemu jodoh. Ya beneran dah kayak gtu jadinya. Bakalan muter aja cerita cintanya di masalah begituan. Na'udzubillah. Kalau ada yang mikir jodoh itu datang dengan cara sebar umpan sana sini, sebar kode siang dan malam, ya bakalan ribet aja cerita cinta kita di seputar begituan. Na'udzubillah.<br />
<br />
Sementara dua temanku tadi melihat proses jodoh secara sederhana, sebab yakin Allah akan menghadirkan orang yang tepat pada saat yang tepat.<br />
<br />
Ya Allah...<br />
<br />
Sekali lagi, tiap orang punya jalannya masing-masing Guys. Karena tiap kita punya kecenderungan yang berbeda. Ada yang diem, ada yang agresif, hehe. Kalau memang ingin menyampaikan, sampaikan dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah dan rasul-Nya. Selama itu tidak melanggar syariat, dan sudah siap, gaskeunnnn. Jangan lupa semua harus dikawal dengan niat dan ilmu yang benar yaa. Jangan terlalu ngoyo juga. Jodoh itu bagian dari rezeki. Rezeki itu udah dijamin.<br />
<br />
Aku tau yakin itu proses Guys. Jadi aku cuma bisa bilang, TETEP SEMANGAT DAN TETAP PRODUKTIF YAA KITA! Wkwkwk.<br />
<br />
Nih aku kasih penutup untuk menambah keyakinan kita.<br />
<br />
Guru-guru kita membuat analogi seperti ini. Bayangin di hadapan kita ada karpet 5 meter. Bisa nggak kita melewatinya dalam sekali langkah atau sekali lompatan? Kita cenderung berpikir nggak mungkin kan? Padahal....bukankah karpet itu bisa digulung, lalu kemudian dilewati dalam sekali langkah? Pikiran kita sering membatasi kehendak Allah. Padahal Allah selalu punya cara. Allah sesuai prasangka kita. Kalau kita mikirnya ruwet, hanya mengandalkan usaha kita, ya begitulah kita bakalan diribetkan dengan logika sebab akibat yang kita bangun. Note to myself: belajar mikir sederhana aja, nggak usah terlalu dipikir bagaimananya🤧. -Dari penjelasan Ustadz Afri beberapa pekan lalu-<br />
<br />
Semoga bermanfaat dan semua hajat baik kita dikabulkan Allah. Aamiin<br />
<br />
*Padahal sebenarnya ketika Allah sudah menjodohkan, itu bukan soal keberuntungan, melainkan memang Allah ciptakan untuk saling mengisi.Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-80349908579998147832020-05-11T05:10:00.000-07:002020-05-11T05:10:04.318-07:00Doa Paling SunyiBismillahirrahmanirrahim<br />
<br />
Kawan, pernahkah kau merasa sangat bersyukur atas kebaikan yang orang lain lakukan kepadamu? Hingga pujian "Betapa baiknya orang ini," terus memenuhi benakmu. Hingga dalam hatimu engkau berdoa, "Ya Allah, bahagiakan dia, bahagiakan dia, bahagiakan dia. Ya Allah, penuhilah segala keinginan baiknya." Inikah yang dinamakan doa di kala dan tempat yang paling sunyi? Bahkan orang yang 'berdoa' pun seolah tidak sadar ketika melakukannya. Yang ia tahu, ia ingin agar orang yang sudah membantunya ini bahagia. Kawan, maukah kau mendapatkan doa yang begitu sunyi namun indah itu?Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-74149148401622603952020-04-18T08:10:00.001-07:002020-05-11T05:10:22.426-07:00Memilikimu<i>Ada banyak sekali jenis cinta di dunia ini</i><br />
<i>Yang jika kita cinta, bukan lantas harus memiliki</i><br />
<i>Ada banyak sekali jenis suka, kasih dan sayang di dunia ini</i><br />
<i>Yang jika memang demikian, tidak harus dibawa pulang</i><br />
<i><br /></i>
<i>Ada banyak sekali jenis cinta di dunia ini</i><br />
<i>Yang jika sungguh cinta, kita akan membiarkannya</i><br />
<i>Seperti apa adanya</i><br />
<i>Hanya menyimpan perasaan itu dalam hati</i><br />
<i>Selalu begitu, hingga akhir nanti.</i><br />
<br />
(Cuplikan sajak 'Memilikimu' karya Tere Liye)<br />
<br />
Rasa suka, kagum, dan cinta kita pada kebaikan yang berwujud manusia, benda, atau perkumpulan adalah hal yang wajar. Kita berasal dari Yang Maha Baik, maka memang fitrah kita mencintai kebaikan. Namun, tidak semua kebaikan itu bisa kita miliki. Terkadang kita hanya bisa memandang dari jauh, mendoakannya, menjadikannya sebagai penyemangat dan warna dalam kehidupan. Terkadang kita harus menerima bahwa ia hanya diizinkan singgah sesaat, menumbuhkan harapan-harapan, kemudian pergi untuk selamanya sekeras apapun kita berusaha mencegahnya. Kita berusaha menerka-nerka, kebaikan besar apa yang Allah sembunyikan, sehingga kita tak diizinkan 'memiliki' semua kebaikan? Terkadang Allah menyingkap alasannya, namun sering pula Dia membiarkan kita berproses dahulu selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup dalam tanda tanya. Jika kita ngotot mengejar kebaikan yang sebenarnya tidak diperuntukkan bagi kita, Allah dengan kasih dan kelembutan-Nya membuat kita merasakan sesak, sampai lahir kesadaran "Sudah cukup aku memperjuangkannya." Kita bersyukur dianugerahi kecintaan terhadap kebaikan. Maka semoga Allah curahkan kebaikan selalu kepada kita. Aamiin.Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-54190652652703058762020-04-15T19:53:00.000-07:002020-05-11T05:10:21.949-07:00Ketika Kami 'Ceramah' di hadapan UstadzAssalamu'alaikum teman-teman!<div>
Pada postingan kali ini saya mau cerita tentang salah satu kegiatan Hubb.id (@hubb_id). Oh iya, saya belum pernah cerita tentang Hubb.id di blog ya. Hubb.id adalah komunitas di bawah payung Robwah Foundation yang menggiatkan literasi. Bagi teman-teman yang penasaran dengan komunitas yang baru berdiri selama setahun ini, bisa cari tahu di instagram kami @hubb_id. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Oke, lanjut. Sekitar bulan Oktober 2019 (kalau nggak salah), teman-teman anggota Hubb.id pernah berkumpul untuk berbagi isi dan hikmah dari buku yang sudah dibaca. Pada sharing buku perdana tersebut, yang mendapatkan giliran adalah Tommy dan Mbak Hestin. Tommy sharing buku tentang bidang yang ia dalami-Sistem Informasi, sedangkan Mbak Hestin sharing salah satu buku Ustadzah Halimah Alaydrus. Namun pasca hari itu, dikarenakan beberapa hal, salah satunya karena kami fokus mempersiapkan pelatihan kepenulisan untuk awal Desember, tidak ada sharing buku secara langsung berikutnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Hari-hari berlalu. Hubb.id bergerak di media sosial saja dengan membagikan tulisan-tulisan dan video. Termasuk ketika pandemi covid 19 saat ini, Hubb.id berusaha mengunggah tulisan-tulisan maupun video yang menyejukkan di tengah kepanikan yang sedikit banyak mengikis keyakinan kita akan kuasa Allah. Sampai suatu hari, Ustadz Afri Andiarto, selaku pembina kami dan founder Robwah Foundation beserta 4 komunitas di bawahnya menyampaikan ide agar kami mengadakan diskusi buku lagi. Ya, tentunya secara daring atau online.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Bebeberapa hari setelah ide tersebut Ustadz sampaikan, aku menawarkan kepada teman-teman Hubb.id, siapa saja yang berkenan menjadi narasumber. Maa syaa Allah, ternyata teman-teman Hubb.id dan Ustadz menyambut dengan antusias. Langsung ada 6 orang (termasuk saya) yang mengajukan tema diskusi beserta buku acuannya. Saya langsung membuat 'jarkoman', Husada membuat poster. ALHAMDULILLAH PAK DOKTER HUSADA AGAK LONGGAR HEHE. Setelah itu, kami merilis undangan untuk hadir melalui grup-grup komunitas Robwah Foundation. Responnya juga di luar dugaan saya. Mereka menunjukkan antusiasme. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Pertemuan pertama pada 10 April 2020 diisi oleh Ustadz Afri tentang 'mimpi dalam islam' (buku The Ultimate Psychology) dan Husada tentang 'doa dan ikhtiar' (buku Iman Kunci Kesempurnaan). Alhamdulillah yang bergabung di forum ini sekitar 30 orang, diskusi begitu hidup, pokoknya seru deh. Senang sekali. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmussholihaat. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kemudian tibalah hari Rabu, 15 April 2020. Saatnya saya dan Khotijah yang jadi narasumber. Karena belum berani membedah buku agama, akhirnya saya memilih buku yang berbau psikologi-> Empowering Children: Play-Based Curriculum for Lifelong Leaning sementara Khotijah memilih buku Cerita Siswa yang Gemar Mengumpulkan Daun-daun. Sebelum pertemuan daring ini dimulai, saya sudah berusaha menata hati. Saya nggak ingin berharap pada siapapun selain kepada Allah. Niatku berbagi ilmu. Titik. Entah nanti bakalan sepi banget atau nggak sehidup ketika pertemuan pertama, saya nggak boleh kecewa. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah seseorang yang oleh Allah diberi sedikit dari ilmu-Nya yang tak bertepi dan berusaha menebar manfaat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Namun, teman-teman, beberapa menit sebelum pertemuan itu dimulai, siapa coba yang bingung woro-woro di grup? Ustadz Afri :') "Beliau nggak ada jadwal kuliah kah?" batinku. Begitu forum Zoom dibuka, beliau termasuk yang pertama masuk di forum dan ternyata menyimak serta bertahan sampai akhir. Begitu forum ditutup, beliau langsung kirim jempol melalui grup WhatsApp Hubb.id. Beliau juga mengatakan, "Menarik dan banyak ilmu baru." Jujur aku terharu banget sih. Beliau yang memiliki banyak jamaah, dicintai dan diikuti oleh banyak anak muda; berkenan untuk memberikan dukungan secara langsung dengan menyimak penjelasan kami selama kurang lebih 2 jam. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Memang sih...menurut saya, salah satu kunci yang membuat teman-teman mahasiswa dan sampai lulus dan keluar dari Surabaya terus ingin menjalin silaturahim dengan beliau adalah beliau merupakan sosok yang mudah mengapresiasi dan mensyukuri. Beliau mengapresiasi hal-hal sederhana yang kami capai, hal-hal yang kami miliki. Dan kali ini...bahkan beliau mau 'belajar' dari penjelasan kami. Maa syaa Allah...sehat selalu Ustadz, Mbak Osyi, dan keluarga...</div>
Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-56951157651807250122020-04-14T00:44:00.002-07:002020-05-11T05:10:22.044-07:00Asyiknya Belajar Psikologi"Asyiknya Belajar Psikologi" kutulis menjelang 1 tahun terakhirku sebagai mahasiswi Fakultas Psikologi UNAIR. Motivasiku menulis buku ini adalah aku ingin memperkenalkan ke orang banyak, khususnya adik-adik yang masih SMP/ SMA, tentang kuliah psikologi 'yang sebenarnya'. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak yang salah paham. Misalnya menganggap bahwa dengan mempelajari psikologi, seseorang akan bisa membaca kepribadian orang lain dengan sekali tatap. Kemudian ada pula anggapan bahwa psikologi adalah jurusan yang mudah dinalar jadinya sebelum ujian nggak perlu belajar. Tak sedikit pula yang berpikir bahwa psikologi adalah jurusan yang bebas dari angka. Serta masih banyak anggapan yang 'lucu' (atau salah kaprah?) lainnya. Maka dengan membaca buku ini, semoga adik-adik bisa memiliki 'motivasi yang benar' saat akan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa psikologi. Motivasi yang benar dan mantap insyaa Allah akan membuat adik-adik lebih 'survive' ketika nanti harus berhadapan dengan berbagai tantang sebagai mahasiswa. <div>
<br /></div>
<div>
Selain itu, aku berharap bahwa buku ini bisa menjadi buku pedoman yang asyik bagi teman-teman yang sudah resmi menjadi mahasiswa psikologi. Pedoman untuk apa? Yaitu supaya teman-teman lebih aware dengan berbagai tantangan, kesempatan, dan bahkan kekuatan yang harus teman-teman kerahkan dalam menjalani dunia kemahasiswaan. Banyak banget lho yang ingin berada di posisi teman-teman saat ini. Jadi pastikanlah teman-teman memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Nah, untuk mencapai tujuan itu, aku melukiskan beberapa bab dan subbab dalam buku ini. Berikut daftar isinya: </div>
<div>
<br /></div>
<div>
- 'Psikologi Bertentangan dengan Islam', Benarkah?</div>
<div>
- Serunya Kuliah di Psikologi</div>
<div>
- Apa Saja Sih yang Dipelajari di Psikologi? (sub-bab: Warna-warni Semester Awal, Perjuangan Semester Pertengahan, Haru Biru Semester Akhir)</div>
<div>
- Mencari Tempat Tinggal</div>
<div>
- Manajemen Waktu</div>
<div>
- Lomba-lomba</div>
<div>
- Surat dari Masa Lalu (Aku yang Awalnya Tidak Ingin Kuliah di Sini)</div>
<div>
- Mahasiswa Itu... Ya Gini!</div>
<div>
- Magang Yuk!</div>
<div>
- Kuliah di Psikologi, Mau Jadi Apa?</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lengkap kan....? Hehehe. Alhamdulillah... </div>
<div>
Buku ini aku terbitkan secara indie pada April 2019. Bagi teman-teman yang berminat membeli, bisa hubungi aku via email: fatinphilia3@gmail.com atau DM instagram @fatinphiliahikmah2</div>
<div>
Berikut beberapa testimoni pembaca:</div>
<div>
<br /></div>
<blockquote class="tr_bq">
Setelah membaca buku Kak Fatin, rasanya rahasia besar mahasiswa psikologi kini terungkap lebar. Dan sedetik kemudian saya meletakkan bukunya, lalu bangkit dan mulai menyusun rencana agar empat tahun saya nanti berlangsung dengan penuh kesan </blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
-Farah (mahasiswi Psikologi Universitas Syiah Kuala)</blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
Buku yang membuat saya terpukau. Seandainya saya tahu bahwa psikologi sehebat ini, mungkin sejak masa SMP saya sudah belajar. Dengan membaca buku ini, seakan-akan saya menjadi aktor yang siap membombardir dunia. Keren! </blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
-Mukhlisin (mahasiswa Psikologi UIN Malang)</blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
...Buku ini bukan sekedar curahan hati selama menjadi mahasiswa psikologi, tetapi juga menyajikan dengan sangat asyik tentang apa saja yang perlu dipahami, disiapkan dan diluruskan, bagaimana sebaiknya menjalankan perkuliahan serta bagaimana caranya melihat dan membangun masa depan dengan bekal psikologi...</blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
-Nursita (wisudawan berprestasi Fakultas Psikologi UNAIR Juli 2018)</blockquote>
<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
</blockquote>
<br />
<div>
<br /></div>
Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-43681628044227454052019-04-08T05:06:00.000-07:002020-05-11T05:10:21.758-07:00Kuliah Profesi, Apa yang Kau Cari<br />
<div class="MsoNormal">
Tepat seminggu yang lalu, aku sedang berada di sebuah rumah
kost di Kelurahan Kukusan,Depok, Jawa Barat, sebab aku akan mengikuti tes masuk
Magister Profesi Psikologi UI tahap 2 keesokan harinya. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Alhamdulillah tadi siang pengumuman hasil tes
sudah dirilis dan aku harus menerima bahwa aku belum berjodoh dengan kampus
berlambang makara itu. Gimana rasanya? Sedih pastinya. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ya meskipun pada
hari-hari yang lalu aku sudah mengira akan hasil yang demikian, tapi rasa sedih
itu nyatanya masih cukup menguasai. Bagaimana tidak sedih, aku sudah tinggal di
Depok selama 12 hari 11 malam, yang dalam kurun waktu tersebut aku sudah akrab
dengan berbagai hal baru di sana. Selama itu pula aku menyusun balok-balok
mimpiku. Maka aku pun memberi ruang untuk diriku bersedih. Aku memberi ruang
untuk diriku menangis. Tidak apa-apa. Aku bersyukur, Allah masih menjaga
keyakinan dalam hatiku bahwa “Allah tahu yang terbaik.” Maka menangisku
bukanlah ungkapan tidak terima akan takdir-Nya, namun ‘hanyalah’ ekspresi
kemanusiaanku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Terlepas dari kesedihanku, aku mendapatkan banyak pelajaran
dari tes kemarin. Salah satunya dari tes wawancara. Tes ini benar-benar menguji
apa dan seberapa kuat motivasiku untuk mengikuti pendidikan profesi psikologi
pendidikan. Sebab memang awalnya cita-citaku belum terlalu spesifik: aku ingin
terus belajar, berbagi, dan bermanfaat. Apakah cita-cita itu salah? Sama sekali
enggak. Tapi gini lho, setelah lulus dari sini kamu akan bergelar sebagai
psikolog, ditambah lagi yang ingin kuliah di sini tuh nggak sedikit, jadi ya
masa cita-citamu se-abstrak itu? Apa ya mungkin orang yang baru mengenalmu
(bapak dan ibu pewawancara) bisa yakin padamu dengan cita-cita yang kurang
operasional itu?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Mengapa memilih program profesi psikologi pendidikan? Pada
saat wawancara itu, aku juga sempat ditanya, lembaga pendidikan mana yang
menurutmu bagus? Apa yang ingin kamu lakukan selama lima tahun ke depan? Aku
bisa menjawab pertanyaan itu, tapi mungkin kurang mantap. Di situ aku jadi
sadar, bahwa aku belum merumuskan cita-citaku secara lebih jelas. Bahwa aku
belum menenggelamkan diriku dalam cita-citaku. Pilihanku untuk sekolah profesi
sudah mantap, tapi ‘lalu-habis-itu-ngapain-nya’ ini yang perlu digali lebih
dalam lalu harus terus diusahakan dan didoakan. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Maka dari wawancara kemarin aku belajar untuk lebih mengenal
diriku. Aku belajar untuk lebih semangat merumuskan dan mengejar cita-citaku.
Bukan, bukan untuk lolos tes wawancara. Tapi untuk
belajar-berbagi-dan-menebar-manfaat yang lebih baik. <o:p></o:p></div>
<br />Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-17492882391694277272019-02-17T06:55:00.000-08:002020-05-11T05:10:21.474-07:00Ruang SendiriKita menemukan banyak hal menarik di setiap sudut bumi ini. Allah mempertemukan kita dengannya. Sambil memperhatikan sekeliling, kita mencerna apa yang terjadi, kemudian mengambil hikmahnya. Sering kita kagum atau senang dengan hikmah yang kita peroleh, dan agar manfaat dari hikmah itu semakin luas, kita membagikannya melalui berbagai media sosial yang kita miliki. <div>
<br /></div>
<div>
Namun, aku pada akhirnya sampai pada titik 'kecanduan update' segala hal. Apapun dan di manapun. </div>
Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-15607452073120733832019-02-13T18:16:00.004-08:002020-05-11T05:10:21.331-07:00Menunggu Kelahiran<br />
<div class="MsoNormal">
Saat ini aku sedang menunggu. Menunggu naskah <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang berencana aku bukukan menjalani
prosesnya. Dalam waktu yang bersamaan, kini ia sedang berada di tangan para
peninjau, layouter, dan juga menanti dibuatkan baju oleh sang desainer sampul. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Rasanya tak sabar menimang dirinya yang hangat
yang baru keluar dari percetakan. Maka menurutku tak berlebihan jika Raditya
Dika menyamakan kelegaan yang dirasakan penulis ketika bukunya terbit sama dengan
kelegaan yang dirasakan oleh seorang ibu yang baru saja melahirkan (meskipun
Raditya Dika tidak pernah merasakan melahirkan). <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sebab menulis, khususnya menulis sebuah buku, adalah proses
panjang. Bibitnya adalah keresahan yang ditanam dalam tanah kesadaran bahwa
sedikit pengalaman disertai ilmu yang sedikit harus dibagikan untuk meluaskan
kebaikan.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Bukan sekedar berbagi, namun
berbagi yang bertanggung<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>jawab. Maka
dari itu, membesarkannya harus selalu disertai upaya-upaya koreksi yang tak
kenal lelah, minimal agar yang ditulis tidak ‘menyesatkan’ orang lain. Maka
sikap yang mesti dipelihara oleh seorang yang menulis buku adalah sabar
menjalani proses, tidak asal membagikan, tidak asal bicara, meski<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang menulis ini pun masih belajar untuk itu.<o:p></o:p></div>
<br />Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-85133822859610720702019-01-15T19:37:00.002-08:002020-05-11T05:10:22.521-07:00Seiring Berjalannya Waktu<span style="background-color: white; color: #666666; font-family: "Trebuchet MS", Trebuchet, Verdana, sans-serif; font-size: 15.84px;">Setiap pagi menjelang, kita bersiap untuk menjalani rutinitas masing-masing, kebanyakan melakukan apa yang menjadi kebiasaannya. Bagi yang biasanya kerja ya siap-siap ke 'kantornya', ada yang mengawali paginya dengan hadir taklim, ada pula yang memiliki ritual pagi semacam membaca koran sambil ditemani secangkir teh, bahkan ada juga yang biasanya maksiat masih teguh dengan maksiatnya.</span><br style="background-color: white; color: #666666; font-family: "Trebuchet MS", Trebuchet, Verdana, sans-serif; font-size: 15.84px;" /><span style="background-color: white; color: #666666; font-family: "Trebuchet MS", Trebuchet, Verdana, sans-serif; font-size: 15.84px;">.</span><br style="background-color: white; color: #666666; font-family: "Trebuchet MS", Trebuchet, Verdana, sans-serif; font-size: 15.84px;" /><span style="background-color: white; color: #666666; font-family: "Trebuchet MS", Trebuchet, Verdana, sans-serif; font-size: 15.84px;">Waktu berlalu, musim berganti tak menentu. Nyatanya selama jantung masih berdetak, selalu ada peluang seorang manusia berbalik arah. Dari yang awalnya rajin maksiat, mulai tobat dan membangun kembali hidupnya dengan akhlak, ilmu, dan amal di jalan yang diridhoi-Nya. Namun, ada pula yang awalnya rajin ibadah bahkan taklim setiap hari tapi akhirnya meremehkan salat dan mulai rajin bermaksiat. Na'udzubillah min dzalik.</span><br style="background-color: white; color: #666666; font-family: "Trebuchet MS", Trebuchet, Verdana, sans-serif; font-size: 15.84px;" /><span style="background-color: white; color: #666666; font-family: "Trebuchet MS", Trebuchet, Verdana, sans-serif; font-size: 15.84px;">.</span><br style="background-color: white; color: #666666; font-family: "Trebuchet MS", Trebuchet, Verdana, sans-serif; font-size: 15.84px;" /><span style="background-color: white; color: #666666; font-family: "Trebuchet MS", Trebuchet, Verdana, sans-serif; font-size: 15.84px;">Kehidupan ini adalah buku raksasa. Dari membacanya, kita belajar banyak hal. Dari fenomena ini, kita belajar untuk senantiasa memohon kepada Allah agar Dia senantiasa mencurahi kita dengan hidayah dan taufik-Nya; tidak meremehkan keburukan atau kebaikan sekecil apapun; berprasangka baik kepada orang lain dan alih-alih sibuk mengoreksi orang lain, kita sibuk dengan cacatnya niat, buruknya akhlak, serta kurangnya ilmu dan amal kita.</span>Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-24858732926241119392019-01-12T18:50:00.002-08:002020-05-11T05:10:21.663-07:00#BelajarDariSekitar1Namanya Laili Talitha Agustina, namun aku biasa memanggilnya Dek Lita. Aku lupa bagaimana persisnya pertama aku berkomunikasi dengan mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR ini, tapi yang jelas kami mengikuti majelis pengajian yang sama di kampus. Dari perkenalan awal itu, kami sering bertemu dalam acara yang sama dan semakin dekat. Layaknya kids zaman now, kami juga berteman di media sosial seperti whatsapp dan instagram. Salah satu yang aku kagumi dari Dek Lita adalah semangatnya dalam belajar. Setelah mendatangi kajian-kajian, biasanya dia akan menuliskan saripatinya ke dalam bentuk tulisan yang dipublikasikan di media sosial. Selain itu, menurutku dia adalah tipe orang yang suka membaca. Hal ini aku simpulkan karena dia rajin sekali komen tulisan di blog-ku (lewat wa maupun langsung di blog), dan komennya dia itu kelihatan banget kalau dia membaca dengan sungguh-sungguh, hal yang nggak banyak orang mau untuk melakukannya. Gara-gara teringat rajinnya Dek Lita dalam membaca tulisan, aku juga jadi termotivasi untuk membaca secara lebih teliti.Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-72063407502336988442018-12-20T18:09:00.001-08:002020-05-11T05:10:22.235-07:00Kenapa Memilih Kuliah di Indonesia (aja)?Setelah lulus dari pendidikan sarjana, tantangan-tantangan
baru kehidupan menanti. Uniknya adalah segenap tantangan itu terwakili dengan
satu pertanyaan: habis lulus mau ngapain? Pertanyaan yang memiliki efek horor
bagi sebagian orang, termasuk untukku. Aku merasa pertanyaan itu horor bukan
karena nggak ada yang aku kerjakan sih, tapi lebih ke bahwa ‘kesibukanku saat
ini adalah pilihanku yang akan membutuhkan waktu untuk membuatmu memahaminya’.
Salah satu tantangan yang insyaa Allah akan kupilih adalah melanjutkan ke
pendidikan tingkat master. Dorongan kuat dari orangtua seperti menyihirku dan
membuatku berpikir bahwa menempuh jenjang S-2 adalah sebuah kewajiban.<br />
<br />
<div class="MsoNormal">
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Pada masa-masa awal pasca kelulusanku, orangtuaku sering
mendorongku untuk mencari beasiswa untuk S-2 di luar negeri dengan beberapa
alasan (yang sebenarnya juga bukan merupakan jaminan sih), misalnya: 1) kuliah
di luar negeri akan memberikan pengalaman hidup yang berbeda dibandingan jika
kita tetap memilih kuliah di dalam negeri; 2) Menjadi lulusan master dari luar
negeri akan membuatmu lebih diperhitungkan saat mencari kerja nanti; 3) tak
dapat dipungkiri pula bahwa kuliah di luar negeri menumbuhkan kebanggaan
tersendiri. Bahkan untuk meyakinkanku, Bunda sempat juga bilang ke aku, “Bunda
nggak papa lho Tin kalau misalnya kamu tinggal.” Ayah pun ikut-ikutan
membenarkan Bunda. Namun apalah aku, seorang perempuan tradisional yang
berprinsip ‘selama ada yang dekat, kemudian bisa dekat dengan keluarga, kenapa
harus cari yang jauh?’<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Namun, karena Ayah dan Bunda masih sering memotivasiku untuk
kuliah di luar, akhirnya aku pun mulai mencari-cari info. Pencarianku itu
berujung pada satu kesimpulan (yang juga masih dipengauhi oleh sikap
tadisionalku), kayaknya kuliah di Indonesia pun bagus kok. Nggak kalah sama di
luar. Selain itu, aku mulai tegas dengan bertanya kepada diriku sendiri, “Sebernanya,
apa sih yang kamu cari dari belajar psikologi, bahkan sampai harus melanjutkan
ke jenjang S-2?” Jawaban itu sudah jelas, bahwa belajar psikologi berarti juga
mempelajari salah satu aspek dari tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam
ini—yang tujuan utamanya adalah semakin mengenal dan takut kepada Allah; yang
kemudian dengan mempelajarinya aku bisa bermanfaat untuk diriku sendiri, keluarga,
dan masyarakat seluas-luasnya. Lebih khusus lagi, yang aku inginkan bukan sekedar ‘psikologi’,
namun juga psikologi yang teintegrasi dengan dengan islam, atau yang biasa
dikenal dengan istilah ‘Psikologi Islam’. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Sejauh yang aku tahu dari membaca berbagai
wacana tentang psikologi islam, menurutku kunci dari psikologi islam ialah ‘mengaji’,
atau mengkaji islam secara mendalam kepada guru, sehingga kita dapat dengan
bijak melihat psikologi mainstream dan bagaimana mengintegrasikannya dengan
nilai-nilai islam. “Kalau gitu, fix
lah di Indonesia tempatnya. Kesempatan buat ke luar negeri bisa lewat short
course atau semacamnya yang nggak membutuhkan waktu lama,” pikirku. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Oke, perkara tujuan sudah clear. Kemudian alasan yang
membuatku berat meninggalkan Indonesia adalah aku nggak mau jauh dari Ayah dan
Bunda, salah satu kunci keberkahan hidupku. Biarkan aku di Indonesia, menambal cacatnya baktiku kepada beliau berdua.<br />
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dengan sikap tradisionalku ini, aku tetap berpikir pada
saatnya nanti aku haus ‘go international’ wkwk. Aku punya cita-cita buat mendirikan
lembaga pendidikan Islam di negara-negara yang keberadaan islam masih sangat kurang
terlihat seperti misalnya Filipina atau Vietnam. Insyaa Allah akan ada jalan. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Untuk kelas persiapan tes internasional pun,
aku mengambil kelas IELTS, jaga-jaga kalau suatu hari nanti Allah membalikkan
hatiku hehe. Intinya adalah aku di sini hanya ingin menyajikan pespektif lain,
sehingga jika teman-teman masih bingung untuk mengambil keputusan antara ‘kuliah
di dalam atau di luar negeri’, cobalah cari juga info dari mereka yang sudah kuliah
di sana. Bukan hanya tentang kisah suksesnya, namun juga perjuangan mereka
untuk tetap beragama dengan baik dan menjaga keharmonisan dengan keluarga yang
ditinggalkan. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></div>
<br />Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-45667995242145634802018-11-30T03:49:00.002-08:002020-05-11T05:10:21.853-07:00Buku Keren (1)Bismillahirrahmanirrahim<br />
<br />
Pada suatu hari, Ustadz Afri Andiarto menugaskan kami untuk membaca beberapa buku untuk membuat tulisan, salah satunya adalah buku terjemahan berjudul Reclaim Your Heart (Rebut Kembali Hatimu): Wawasan-Mencerahkan tentang Cinta, Duka, dan Bahagia karya Yasmin Mogahed. Menurut Ustadz Afri, buku ini sangat bagus. Mendengar hal itu, saya sangat penasaran sehingga lebih memilih mencari buku tersebut di toko buku, ketimbang menunggu pinjaman dari Ustadz Afri. Namun, setelah mengelilingi beberapa toko buku di Kota Malang, mulai dari toko buku kecil sampai yang paling besar, hasilnya nihil. Pun saat saya mencoba mencari di online shop, saya tetap tak menemukannya. Setelah beberapa minggu berselang, akhirnya kami mendapatkan pinjaman buku tersebut dari Ustadz.<br />
<br />
Daaaan, saya jatuh cinta dengan buku ini. Buku ini cocok untuk menjadi cermin agar kita kembali sadar bahwa selama ini kita sudah terlalu terikat dengan dunia. Bahwa selama ini kita sok kuat dan sok tahu: mengandalkan pengetahuan dan kekuatan diri sendiri yang sebenarnya tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Salah satu pelajaran yang bagi saya sangat menarik dari buku ini adalah bahwa 'cinta dunia itu bukan hanya ketika kita terikat dengan sesuatu yang sifatnya material, tetapi juga ketika kita menyandarkan kebahagiaan kita pada manusia, momen, dan emosi.' Maksudnya, dalam melakukan sesuatu, alih-alih berharap Allah ridho, kita malah lebih berfokus pada perhatian manusia. Sementara itu, yang dimaksud dengan terikat pada momen dan emosi adalah kita berharap bahwa hidup ini selalu 'bahagia' dan selalu berjalan persis seperti yang kita harapkan. Kecintaan pada dunia tersebut akan membuat kita mudah jatuh, karena pada dasarnya, seperti yang kita tahu, kita hanya bisa berencana dan berusaha. Oleh karena itu, buku ini mengajarkan kita untuk menjadi lebih stabil dengan cara bersandar pada Allah semata, Zat yang tidak akan pernah berubah. Zat yang selalu ada. Hanya dengan bersandar pada-Nya-lah, kebutuhan dan kecintaan kita pada kesempurnaan dan keabadian dapat terpenuhi.<br />
<br />
Alhamdulillah buku ini sudah dicetak ulang, namun oleh penerbit yang berbeda, sehingga saya tidak tahu apakah isinya sama persis atau tidak. Semoga teman-teman bisa mendapatkan manfaat dari buku ini ya! Kalau ada yang salah dari tulisan saya, silakan disampaikan. Allahu a'lam<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8C0k36fMlk-Vk5X3ujgbNlideNKKlzw3KU1XYGQz_8aiWf9dHv6KqIRLzrnd7WBgm_a3OfIH8LcNTntDyXFXoo3jS1swtD8RDtid1NSO8ltFTBFwWltO2pL-Cv-Ncl0q1WYcqu-QPWHg/s1600/P_20181130_184720.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1200" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8C0k36fMlk-Vk5X3ujgbNlideNKKlzw3KU1XYGQz_8aiWf9dHv6KqIRLzrnd7WBgm_a3OfIH8LcNTntDyXFXoo3jS1swtD8RDtid1NSO8ltFTBFwWltO2pL-Cv-Ncl0q1WYcqu-QPWHg/s320/P_20181130_184720.jpg" width="240" /></a></div>
Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-23064920917033492912018-11-28T18:53:00.003-08:002020-05-11T05:10:21.569-07:00Menjemput Penggenap Keimanan<br />
<div class="MsoNormal">
(Sebut saja) Mawar: “Tin, seumur-umur aku nggak pernah
pacaran. Tapi bayangin, aku justru ‘terpeleset’ satu minggu sebelum akad.
Godaannya di masa-masa seperti itu besar banget menurutku. Sampai sekarang aku
merasa berdosa banget ...<span style="font-family: wingdings;"> </span>”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Me: “…”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Mawar: “Ya gimana ya…saat itu tuh kita udah tau kalau dia
adalah jodoh kita gitu… ”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Sampai hari ini, saya tidak tahu ‘terpeleset’ seperti apa
yang Mawar maksudkan. Namun, berdasarkan cerita panjang lebarnya, beberapa
minggu sebelum akad ia tidak pernah bertemu langsung dengan calon suaminya dan ‘hanya’
menjalin komunikasi melalui media sosial. Mungkin, Mawar terpeleset mengirim
pesan yang menurutnya terlampau mesra, sementara keduanya belum sah. Ah ya,
bagi mereka yang memang sudah berkomitmen untuk menjemput jodoh dengan cara
terbaik, hal itu sudah merupakan kesalahan yang membuatnya merasa sangat
berdosa. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Di sisi lain, akhir-akhir ini kita bisa melihat di media
sosial bertebaran foto ‘engagement’ atau bahasa kerennya ‘lamaran’ atau
‘khitbah’, yang kemudian mereka yang sudah lamaran itu kerap memamerkan foto
mesranya. Nah, sebenarnya bagaimana sih islam mengajarkan kita untuk menjemput
jodoh kita melalui proses nazhor-khitbah-nikah? Apa saja yang harus kita
perhatikan? Berikut ini merupakan rangkuman kajian pranikah yang rutin diadakan
di Masjid Ulul ‘Azmi UNAIR dengan dibina oleh Gurunda Ustadz Afri Andiarto.
Rangkuman ini sudah diperiksa oleh beliau..<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><br /></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Nazhor<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal">
Pada umumnya dalam ajaran islam, laki-laki boleh melihat
perempuan dalam jual beli, memberikan kesaksian, dan berbagai kegiatan baik
lainnya dengan batas-batas tertentu. Namun, nazhor yang dimaksud di sini adalah
proses melihat perempuan yang dilakukan sebelum laki-laki melamar atau
mengkhitbah seorang perempuan. Adanya nazhor merupakan bentuk kehati-hatian,
menjaga dari adanya ketertipuan fisik maupun akhlak. Hal ini penting karena
pernikahan adalah ibadah seumur hidup dan ikrar pernikahan adalah termasuk
dalam perjanjian yang sangat kuat. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Mayoritas ulama sepakat bahwa laki-laki yang
hendak melihat perempuan dengan maksud menikahi tidak perlu izin kepada
perempuan yang bersangkutan, agar si laki-laki bisa mengetahui keadaan asli si
perempuan. Maksudnya, karena tidak tahu akan diperhatikan, si perempuan akan
berpenampilan dan bersikap natural atau tidak dibuat-dibuat. Selain itu, hal
ini juga dimaksudkan untuk menjaga perasaan si perempuan. Bisa saja laki-laki
ini tidak jadi menikahi si perempuan setelah memperhatikannya. Jika si
perempuan mengetahui hal ini, tentu ini akan sangat melukainya. Namun, dalam
hal ini Imam Malik berpendapat bahwa laki-laki harus izin kepada si perempuan,
karena khawatir bahwa saat laki-laki melihat, perempuan yang tidak tahu ini
sedang menampakkan auratnya. Satu hal penting yang perlu diingat ialah bagian
tubuh yang boleh dilihat hanya wajah dan telapak tangan. Menurut Imam
An-Nawawi, dengan memperhatikan tangan, laki-laki dapat mengetahui kecantikan
seorang perempuan dan kesehatannya. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Nah, apabila laki-laki tidak memungkinkan
untuk melihat si perempuan, misalnya karena ia sedang berada di luar negeri, ia
bisa meminta tolong kepada saudara atau teman perempuan (yang tidak ada
kepentingan atau perasaan kepada si laki-laki) untuk melihat perempuan yang
dimaksudkan. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><br /></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Khitbah<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal">
Khitbah secara bahasa berasal dari kata khotoba yang artinya
bercakap, menyampaikan sesuatu, dan identik dengan singkat, padat, dan jelas.
Secara istilah, khitbah di sini bermakna menyampaikan maksud untuk meminang
dari pihak laki-laki kepada wali dari pihak perempuan dengan ringkas, padat,
dan tidak bertele-tele. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Adapun sunnah-sunnah dalam khitbah antara lain: mengucapkan
maksud dengan diawali dengan membaca hamdalah dan sholawat nabi. Tidak
diwajibkan untuk beramai-ramai dalam melamar, namun hal ini diperbolehkan
karena biasanya ini dimaksudkan untuk menjalin silaturahim. Begitupun dengan
membawa seserahan, diperbolehkan meskipun tidak wajib. Seserahan ini dinilai
sebagai hadiah, yang mana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda, “Saling memberilah hadiah , niscaya kalian akan saling mencintai.
Namun, yang tidak diperbolehkan adalah apabila hal itu sampai memberatkan atau
mempersulit diri sendiri. Karena Rasulullah pun menganjurkan kita untuk
bersederhana. Adapun hukum tukar cincin adalah boleh, asalkan tidak saling
bersentuhan. Maka tukar cincin bisa dilakukan dengan cara berikut: ibu si
laki-laki memakaikan cincin kepada si perempuan; ayah si perempuan memakaikan
cincin kepada si laki-laki.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Setelah lamaran diterima, maka laki-laki dan perempuan yang
bersangkutan memasuki masa khitbah. Ketika memasuki masa khitbah, ulama
menganjurkan untuk lebih ketat dalam menjaga interaksi, karena bagaimanapun keduanya belum terikat dalam pernikahan, sehingga tetap harus menjaga seperti tidak keluar berduaan dsb. Selain itu, pada masa ini godaan
syetan lebih besar untuk menghasut keduanya agar melakukan maksiat.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Hal ini dikarenakan syetan sangat khawatir
akan pernikahan yang akan dilaksanakan keduanya, yang mana pernikahan merupakan
penyempurna separuh agama. Oleh karena itu, hendaknya setelah lamaran diterima,
disegerakan untuk melaksanakan akad. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dalam sebuah hadist, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ramaikanlah pernikahan dan sembunyikanlah khitbah (lamaran).”
Seorang ulama pengikut madzhab Imam Malik mengatakan bahwa disunnahkan untuk
menyembunyikan khitbah. Pertimbangan bahwa khitbah sebaiknya disembunyikan
antara lain karena: untuk melindungi jikalau ada orang hasud atau tidak suka
dengan bersatunya kedua calon mempelai; khitbah adalah rencana, kita sebagai
manusia tidak tahu apa yang akan terjadi sebelum akad. Jika kemungkinan
terburuk tidak jadi menikah, setidaknya kedua calon mempelai tidak menanggung
malu yang sangat besar karena hanya keluarga yang mengetahui. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
---<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Akhirnya, kita harus memahami bahwa misi mengapa kita
menikah bukanlah semata untuk bahagia, namun untuk menjalankan sunnah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian lahirlah
generasi-generasi muda yang nantinya turut meneruskan perjuangan dakwah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mengingat besar dan mulianya misi
pernikahan, sudah semestinya kita menjemput jodoh kita dengan keimanan yang
utuh, ilmu yang mumpuni, dan juga cara yang baik. Allahu a’lam<o:p></o:p></div>
<br />Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7829572090271719994.post-59617954123703149052018-11-26T08:37:00.002-08:002020-05-11T05:10:22.138-07:00Lebih Baik Bersama<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menjadi penulis adalah cita-cita
saya sejak kelas 1 SD. Seingat saya, waktu itu saya masih belum punya alasan
khusus. Seiring berjalannya waktu, ketika saya sudah mulai beranjak remaja,
saya semakin termotivasi untuk menjadi penulis karena saya ingin nama saya
nangkring di toko buku. Cukup lama motivasi tersebut bersemayam dalam benak
saya. Sampai akhirnya, setelah berbagai tempat saya kunjungi, banyak orang
Allah pertemukan dengan saya, berbagai hikmah Allah hadirkan untuk mencerahkan
hati dan pikiran, jadilah ‘penulis’ bukan lagi cita-cita saya, namun ‘menulis’
adalah jalan hidup saya. Kini, bagi saya ‘penulis’ bukanlah pekerjaan, namun
ianya merupakan kewajiban yang didasari dengan semangat berbagi dan
melanggengkan budaya para ulama salafussholih yang menjadikan menulis sebagai
jalan hidup untuk menjaga warisan para nabi dan rasul berupa ilmu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dengan kemantapan itu, kemudian
muncullah berbagai cita-cita. Salah satunya menulis buku. Alhamdulillah Allah
mewujudkannya. Dalam waktu kurang lebih sembilan bulan (mulai dari menulis
pertama sampai dijual di toko buku) lahirlah buku berjudul Setiap Detik Bersama
Allah, yang diterbitkan oleh Gramedia. Meskipun masih banyak kurangnya dari
segi sumber dan teknik penulisan, namun saya sangat bersyukur atas karunia ini.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Manusia berproses. Setelah mendengarkan banyak nasihat dan
hakikat-hakikat baru melalui berbagai kajian, saya menjadi semakin ciut. Mendengarkan
penjelasan para ulama’ dalam kitab-kitabnya selalu membuat saya merasa tidak
pantas untuk menulis. Para ulama’ terdahulu telah menjelaskan banyak hal dengan
sangat lengkap dan penuh keikhlasan. Sedangkan saya…masih perlu dipertanyakan
dalam berbagai aspeknya. Masih perlukah saya menulis? Namun, ketika saya
berpikir begitu, beberapa orang meyakinkan saya bahwa tulisan saya mungkin bisa
menjangkau saudara-saudara yang belum sampai mengkaji kitabnya para ulama’.
Baiklah, dari situ saya jadi semangat lagi, meskipun akhirnya saya merasa bahwa
harus ada orang yang mumpuni secara ilmu untuk bisa mengoreksi tulisan saya.
Hal ini ditegaskan oleh Ustadz Afri Andiarto, pada saat saya menyerahkan buku ‘Katanya
Pengen Mondok?’ karya Thalib El-Dhiya’ (saya dan 23 teman saya yang lain)
ketika pembinaan robithoh da’waturrasul. Masih dengan bahagia (beliau selalu
senang ketika murid beliau menulis) beliau mengatakan yang kurang lebih intinya
serahkanlah tulisanmu kepada gurumu sebelum dipublikasikan, agar gurumu bisa
memeriksa jikalau ada isi yang salah. Sejak saat itu, menguatlah harap dalam
diri saya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar bisa menulis dengan orang yang
lebih berilmu. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Allah mewujudkannya. 'Beliau' (masih dirahasakan hehe), sosok
yang saya ikuti akhlak dan ilmunya mengajak saya untuk bergabung dalam tim
menulis yang berisi saya dan dua sosok lain (masih dirahasiakan juga hehe) yang
keren di bidangnya masing-masing (maa syaa Allah). Buku yang ingin kami tulis
bukanlah antologi, sehingga kami bekerja berdasarkan pembagian tugas.
Alhamdulillah kami berempat sudah bertemu sekali, dan bertemu secara tidak full
team tiga kali. Ketika bertemu, biasanya kami berdiskusi mengenai referensi. Saya
merasa sangat bersyukur. Jika menulis buku sendiri, biasanya saya kebingungan
untuk mengisi beberapa bagian, karena itu bukanlah bidang yang saya mampu,
sehingga tak jarang akhirnya bagian itu saya hapus. Namun, dengan menulis
bersama, kami bisa saling mengisi sehingga mewujudkan tulisan yang bernas. Inilah
yang dimaksudkan oleh nasihat bijak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">jika
kau ingin berjalan cepat, maka berjalanlah sendiri. Namun, jika kau ingin
berjalan lebih jauh, maka berjalanlah bersama. </i>Maksudnya, dengan berjalan
bersama kita bisa meraih hal-hal yang tidak bisa kita capai bila sendirian.
Iya, menulis sendiri memang lebih cepat (bagi orang yang sudah terbiasa
menulis), karena tidak perlu menunggu teman-teman satu tim yang mungkin punya
kesibukan lain, sehingga harus ada yang rela menjadi menyebalkan dengan terus
menagihi teman-teman satu timnya hehe (pengalaman ketika menulis bersama Thalib
El-Dhiya’). Tetapi, sekali lagi, perjuangan menulis bersama ini sebanding
dengan hasil yang bisa kita dapatkan. Gara-gara itu, sekarang setiap ada ide untuk menulis buku, saya bergegas untuk mencari partner yang cocok. Saya nggak mau sendirian lagi, hehe.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Nah, indahnya berjamaah bukan hanya bisa diwujudkan dalam
menulis kok, namun juga untuk hobi-hobi baik lain seperti memasak, videografi,
olahraga, dan sebagainya. Jadi, apapun hobimu, jangan ragu untuk terus menebar kebaikan untuk umat lewat jama'ah-jama'ah kebaikan ya. Insyaa Allah.</div>
Fatinphiliaahttp://www.blogger.com/profile/01762006727150306282noreply@blogger.com0