Senin, 13 November 2017

Kala Langit Surabaya Tak Lagi Sama

“Dek, jangan rusak dulu ya. Mbak pengen sidang skripsi sama kamu,” ujarku pada sepatu yang sudah menyedihkan keadaannya.

“Kak, bertahan ya. Kamu yang sudah menemaniku sejak awal kuliah. Jangan rusak dulu ya,” kataku pada laptop yang beberapa kali menunjukkan gejala kurang sehat.

-suatu masa ketika hikmah demi hikmah baru kehidupan terus Allah ajarkan kepada diri yang bodohnya masih sering merasa tak mampu-

Jumat, 06 Oktober 2017

Perkara Baju Kotor

Sebut saja ia Imah (bukan nama sebenarnya). Ia berkuliah di universitas yang sama dengan saya, namun angkatannya satu tahun di bawah saya dan kami berasal dari fakultas yang berbeda. Qodarullah, Allah SWT mempertemukan kami hingga sampai hari ini kami masih sering berkomunikasi. Dengan mengenalnya membuat saya menyaksikan bukti yang begitu gamblang bahwa manusia yang menjaga kedekatan dengan Allah SWT akan menjadi manusia yang tangguh serta dapat memberikan pengaruh baik yang luar biasa untuk sekitarnya tersebab ia memiliki amunisi yang cukup untuk menghadapi berbagai tantangan. Muslimah yang sangat menjaga sholat tahajud dan dhuhanya ini menjadi tempat curhat banyak orang, dari berbagai status dan latarbelakang, mulai dari mahasiswa sampai dosen, mulai dari curhatan tentang pacar sampai perkara rumah tangga. Saran yang diberikannya selalu berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis. Hebatnya adalah, sekalipun orang yang diberi saran tersebut masih melakukan apa yang dilarang Allah, namun mereka bisa menerima saran dari Imah dengan lapang dada, bahkan tak jarang tertawa sambil meminta maaf atas kesalahan mereka. Apakah mereka kapok diceramahi? Tidak, mereka bahkan menjadikan Imah sebagai tempat curhat andalan mereka. MaasyaaAllah.
Saya belajar banyak dari Imah. Tentang caranya memahami karakteristik lawan bicara, kesungguhannya dalam menjaga muru’ahnya sebagai muslimah, ketegasannya dalam menyampaikan pendapat, juga hal-hal ‘kecil dalam kesehariannya. Hingga suatu hari saya mendapatkan cerita dari teman Imah tentang percakapan mereka berdua:
            “Im, kamu nggak pernah laundry kah?”
            “…” (kami lupa, Imah menjawab tidak pernah atau nyaris tidak pernah)
            “Lho, kenapa Im?”
            “Selama masih bisa, aku usahakan untuk mencuci sendiri. Soalnya kalau amanah berupa baju gitu aja aku nggak bisa menyelesaikan, gimana dengan amanah-amanah lain yang jauh lebih besar?”
            “…”
            Jleb banget ya? Jadi langsung ingat keranjang pakaian kotor ya? Jadi langsung (lebih) sadar kalau sebenarnya baju kotor hanyalah perkara kecil dalam hidup kita ya? Jadi langsung pengen nyuci baju ya? Hehehe. MaasyaaAllah. Tapi bagi teman-teman yang terpaksa harus menggunakan jasa binatu tersebab hal-hal yang memang tidak bisa dihindari seperti misalnya air kost yang sering mati, jangan berkecil hati ya. Mungkin kita bisa mengganti ‘latihan tanggung jawab kecil’ ini dengan kegiatan yang lain. Maka dari Imah kita belajar untuk tidak meremehkan apapun. Karena siapa tahu dari hal-hal yang nampak sepele itulah Allah SWT ingin mendidik kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. 


071017
Fatin, yang hobi coret-coret

Minggu, 01 Oktober 2017

Klarifikasi Kesalahan Buku

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pembaca yang terhormat, dengan ini saya selaku penulis buku Setiap Detik Bersama Allah hendak menyampaikan beberapa ralat untuk beberapa kesalahan dalam buku ini:
-        Salah ketik biasa
-        Salah ketik tidak biasa. Banyak kata ‘aku’ berubah menjadi ‘saya’. Misalnya: jiwaku menjadi jiwsaya; mengaku jadi mengsaya Hal ini disebabkan dalam proses editing terjadi find and replace yang kurang teliti.
-        Penggunaan kata aku dan saya secara bersamaan dalam satu paragraf sehingga membuat pembaca kurang nyaman. Hal ini juga disebabkan dalam proses editing terjadi find and replace yang kurang teliti.
-        Ilustrasi tanpa keterangan
Di setiap topik, biasanya saya memberikan sebuah ilustrasi. Ilustrasi tersebut sebenarnya merupakan kompilasi pengalaman banyak orang. Namun, karena di buku tidak ada keterangan dan kata ganti yg digunakan adalah 'aku', jadilah kisah ilustrasi tersebut nampak seperti kisah nyata hidup saya. Padahal tidak._. Hehe
Maha Suci Allah. Segala yang baik datangnya dari Allah SWT, segala yang kurang datangnya dari diri saya sendiri. Semoga segala kekurangan teknis dalam buku ini tidak mengurangi manfaat yang bisa pembaca ambil. Atas pemakluman yang pembaca berikan, saya ucapkan terimakasih J
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Penulis,



Fatin Philia Hikmah




Jumat, 29 September 2017

Getar Cinta, Harap, dan Takut

Bismillah

Dalam dua buku Ustadz Salim yang saya baca, sering saya temui untaian kata 'dalam getar cinta, harap, dan takut' ketika beliau menggambarkan bagaimana kita menghamba di hadapan Allah SWT. Untaian kata tersebut membuat hati saya berdesir tersebab indahnya diksi yang dipilih. Namun, saya tak benar-benar paham. Sempat ada keinginan untuk bertanya terkait hal ini kepada beliau dalam sebuah majelis, namun urung karena saya bingung bagaimana mengungkapkannya.

Hingga akhirnya dalam majelis yang lain beliau menjelaskan bahwa  pada  tiga  ayat al fatihah secara berurutan merupakan ungkapan cinta, harap, dan takut. Adalah ayat 2 sebagai ungkapan cinta. Segala puji bagi  Allah,  Tuhan Semesta Alam. Karena hakikat mencintai adalah mengagungkan yang dicintai. Kemudian ayat ketiga, Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang adalah ungkapan harap. Dilanjut ayat keempat, Yang Menguasai Hari Pembalasan, merupakan ungkapan takut.

Hati saya kembali berdesir. Tersebab sempurna-Nya kuasa dan sifat Zat yang tadi, kini, dan nanti menyaksikan saya. Dengan memuji-Nya, genaplah keyakinan akan hinanya diri. Dengan berharap akan kasih-Nya, sempurnalah pemahaman akan tercukupi diri atas kasih dalam bentuk suka maupun duka. Dengan mengingat bahwa Allah adalah pemilik hari akhir, takutlah diri...menolak dunia, tersebab rindu ingin melihat wajah-Nya nanti dalam ridho lagi diridhoi.

Di kereta, 290917
Oleh perempuan yang menyukai seni dalam bentuk tulisan bebas namun bertanggungjawab, ditaqdirkan Allah mengenal dunia ilmiah bernama psikologi. Masih perlu banyak berbenah.

Rabu, 06 September 2017

Sopir Travel dan Sholat Subuh

Tadi malam, aku ke Banyuwangi naik travel untuk mengantarkan Eyang pulang setelah menjalani pengobatan di Malang. Setelah menjemput beberapa penumpang lainnya, travel melaju meninggalkan Malang sekitar pukul 20.30. Setelah menempuh perjalanan yang panjang lagi padat dengan truk-truk besar, kemudian mengantarkan para penumpang lainnya di tempat tujuan, tinggallah aku, Eyang, dan Pak Sopir beserta temannya. Mobil melaju kencang menembus jalanan sepi menuju tujuanku. Pukul empat lebih, terdengar sayup-sayup suara adzan subuh. Sepanjang jalan desa yang kami lewati nampak bapak-bapak dan ibu-ibu sepuh bahkan anak-anak berjalan menuju masjid/musholla terdekat.

Wah, sudah subuh. Kira-kira Pak Sopir sholat subuh nggak ya? Batinku. Kalau aku dan Eyang yang tidak sedang menyetir sih bisa sholat di mobil dengan niat menghormati waktu kemudian nanti diqodho. Tapi kalau beliau yang sedang menyetir….bagaimana ya?

“Eyang, subuhan.” Saya membangunkan Eyang dengan suara yang agak dikeraskan supaya Pak Sopir mendengar dan tak sungkan jika misal beliau mau izin berhenti di mushola.

Tapi rupanya suara saya masih kalah sama desing mobil yang agak ngebut.

Duuuh…Resah rasanya karena saya merasa beliau juga tanggung jawab saya.

Akhirnya setelah berusaha mengalahkan kesungkanan yang begitu besar (karena pada dasarnya saya ini pendiam dan pemalu) saya mengatakan, “Mas, monggo lho kalau mau berhenti buat sholat.”

Hening…Pak Sopir dan temannya speechless, bingung.

“Maksud saya Masnya mungkin mau sholat…nggak papa lho.”

Dan Pak Sopir dan temannya tertawa…entah apa maknanya. Tapi hingga saya sampai di tujuan dan langit sudah beranjak cerah, kami tidak berhenti di musholla. Setelah saya pikir-pikir...kenapa tadi saya nggak minta langsung berhenti di musholla ya...hmmm

Keresahan yang sama juga saya rasakan ketika sesekali naik travel dari Malang ke Surabaya. Saya mau menawari Pak Sopir untuk berhenti, tapi ada banyak penumpang yang sedang terburu-buru supaya tidak terlambat naik pesawat atau masuk kerja pagi. Ya, Pak Sopir selama kerjanya berada di bawah ‘tekanan’ bos dan juga penumpang (customer). Dengan ritme kerja yang seperti ini, mereka yang dulunya sholat lima waktu mungkin menjadi terbiasa meninggalkan sholat.

Lalu, bagaimana ya solusinya?

Sebuah perjalanan memang menguras waktu dan tenaga. Maka dari itu, Allah memberikan keringanan dalam sholat dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Sehingga manusia bisa tetap bepergian namun tidak meninggalkan kewajiban sholat. Itu artinya, apapun alasannya jangan sampai meninggalkan sholat. Seperti lirik puisi sajadah panjang, bahwa sejatinya kegiatan di luar ‘sholat’ hanyalah interupsi, bukannya sebaliknya, apalagi sampai ditinggalkan. Menyadari agungnya kewajiban sholat, sudah semestinya setiap pihak juga mempertimbangkan ‘bagaimana sholatnya’ dalam setiap kegiatan. Izin untuk sholat semestinya dipandang penting sebagaimana orang bilang ‘izin ke kamar mandi karena udah kebelet banget’ atau ‘izin turun beli kopi karena ngantuk sekali’. Dalam konteks ini yaitu travel, pemilik travel bisa menetapkan kebijakan untuk mengizinkan sopirnya berhenti untuk sholat serta mengatur jam keberangkatan supaya sopir tetap dapat sholat pada waktu yang masanya singkat seperti subuh. Kita sebagai penumpang pun sebisa mungkin harus memberikan ruang bagi Pak Sopir untuk memperoleh haknya untuk sholat. Bagaimanapun penampilan Pak Sopirnya dari luar, cobalah tawari ia untuk berhenti sholat sejenak. Setidaknya kita sudah berusaha untuk ‘mengutik’ hatinya. Jika pada saat itu ia masih belum mau berhenti, mungkin ia bertekad supaya selanjutnya ia sholat tersebab ada orang yang peduli dengan haknya. Wallahu a’lam.
Banyuwangi, 070917

Nb: Monggo kalau ada kritik

Kamis, 31 Agustus 2017

Menakar Kepantasan

Bismillah

Sebentar lagi, buku berjudul Setiap Detik Bersama Allah akan terbit, insyaaAllah. Gimana rasanya? Senang tentunya. Karena akhirnya dengan izin Allah berhasil mengalahkan berbagai bentuk godaan kemalasan hingga akhirnya bisa terkumpul seratus lebih halaman tulisan dan diterima di penerbit mayor. Senang juga karena bisa membuat orangtua senang...banget. Juga karena ternyata bisa menginspirasi sahabat-sahabatku. Sebenarnya kalianlah yang menginspirasi sekaligus mendukungku sampai akhirnya aku bisa. Sungguh, kalian sahabat-sahabat yang hebat. 



Namun jujur, sebenarnya aku juga merasa sangat malu. Apakah seorang Fatin pantas untuk menulis buku dengan judul yang menurutku lumayan berat ini? Fatin yang selama ini sering bikin kalian sebel dan mbatin ini sok sok an nulis buku. Buku agama lagi. Fatin yang banyak belum taunya dari pada taunya. Fatin yang mungkin sering mbikin kalian mikir, "Ealah, ternyata Fatin kayak gitu ta...Nggak sebaik yang aku pikir, nggak sebaik kelihatannya" dan sebagainya. 

Maka di sini izinkan aku mengatakan bahwa...aku tau bahwa dalam diri ini masih begitu banyak lubang. Diri ini sadar betul bahwa banyak sekali teman-teman sesama mahasiswa yang mungkin lebih pantas menulis buku karena kesalihannya. 

Pikiran tersebut semakin sering berkelebat akhir-akhir ini. Namun kemudian aku kembali berpikir...kalau aku kayak gitu, terus apa yang bisa aku persembahkan ke Allah nanti? Udah ilmu sedikit banget, nggak pernah dibagi pula. Udah banyak dosa...nggak pernah berusaha untuk memaksimalkan potensi yang Allah berikan pula. Udah dikasih kekuatan dan kesempatan...kok nggak disyukuri...Maka dari itu, akhirnya aku memilih untuk bangkit, memberikan semua dari sedikit yang aku punya. Semoga buku yang akan terbit ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua ya. Sementara dari seorang Fatin, silakan ambil yang baik dan tolong ingatkan jika Fatin berbuat buruk. Fatin akan senang sekali kalau teman-teman mau mengingatkan di kala Fatin salah :)

Mungkin tulisan Ustadz Salim A. Fillah berikut bisa menjadi penyemangat untuk kita semua:

".... Lagi-lagi, saya harus berpikir lama ketika diminta untuk menulis buku ini. Pantaskah?
Ini bukan soal pantas tidak pantas, kata seorang rekan menasehati. Ini soal tanggungjawab di hadapan Allah atas terbingungkannya masyarakat oleh berbagai bacaan, buku, maupun guliran wacana yang marak bertebaran. Ya, logika berpikir massa rusak, pandangannya tentang nilai kacau, opini-opininya rancu, dan cara menyikapi realita tak lagi sehat. Hanya karena tulisan. Tulisan yang mengatasnamakan 'fakta berbicara', 'inilah kenyataan di lapangan', 'apa mau dikata beginilah realitanya' dan 'jangan bawa-bawa agama,' sekadar untuk menjaja kemurkaan Allah.

Lebih lanjut, tulis beliau, "Masih banyak orang shalih, lanjut beliau. Tapi, tak banyak di antara mereka yang memperjuangkan agar keshalihan menjadi jamak. Banyak yang sekedar mencukupkan diri bershalih ria di dalam mihrabnya dan tak merasa mengganggu dan terganggu atas polah orang lain. Lalu siapa siapa yang akan menjadi golongan terselamatkan?"

"Jadi? Sederhana. Tetaplah menulis tentang keagungan dan kemuliaan Islam, yang mungkin, oleh mata-mata putus asa dipandang sebagai idealisme tanpa bukti.

Sulit mungkin bagi yang bermental ayam negeri untuk bisa hidup dengan standar-standar mereka. Tetapi, saya akan tetap menuliskannya. Karena, demi Allah, masih banyak akal-akal sehat yang siap menerima kebenaran. Karena, demi Allah, saya tahu pasti: dalam renung kejujuran yang paling dalam, semua manusia merindukannya."

Rabu, 31 Mei 2017

LDK Proker Oriented

Bismillah

Satu dari sekian banyak masalah klasik sebuah organisasi adalah berjalannya organisasi yang dinilai hanya berorientasi pada program kerja alias proker oriented. Lembaga Dakwah Kampus (LDK) pun mengalaminya. Beberapa kawan dari LDK maupun LDF pernah menceritakan hal tersebut kepada saya dengan menunjukkan mimik muka kecewa. Artinya, sekalipun tidak bisa dipungkiri bahwa yang namanya organisasi mestilah terdiri dari proker-proker dan biasanya berhasil/tidaknya organisasi itu dinilai dari prokernya, namun ternyata anggota yang bergerak di dalamnya tidak ingin jika proker dijadikan tujuan, nyawa, dan tolok ukur bagi organisasi. Mereka menginginkan lebih. Tapi apa?

Berdasarkan keluhan kawan-kawan tentang perkara ini, aku mengambil kesimpulan bahwa mereka memaknai proker oriented sebagai suatu sifat dari organisasi yang hanya kerja, kerja, dan kerja namun tidak membuat anggotanya merasa bermakna ketika melakukannya. Sekalipun proker tersebut melibatkan seluruh anggota, tidak membuat mereka semakin erat. Meski proker itu mengusung tema yang nampak begitu wah dan menjunjung semangat akan cita-cita yang tinggi, tapi jangan-jangan mereka sendiri tidak tahu urgensi dari tema itu. Karena apa? Banyak faktor. Mungkin karena kita belum berusaha untuk bertanya ‘untuk apa saya melakukan ini’ untuk kemudian membulatkan niat. Akibatnya, dalam menjalankan proker yang sebenarnya mengandung amanah agung itu, kita justru merasa diperlakukan seperti mesin.  

Tapi gambaran proker oriented sebagai kurangnya pemaknaan masih abstrak dan belum membuat saya menemukan akar masalahnya. Hingga akhirnya beberapa hari lalu, saya berdiskusi dengan seorang teman mengenai salah satu project kami yang mandeg, bahkan orang-orang yang terlibat memilih diam—bukan karena mereka tidak peduli, mungkin sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Dari diskusi tersebut, saya terpelatuk sebab kalimatnya ini:

Problemnya mendasar. Kalau aku nyebutnya kita itu aktivis dakwah proker. Jadi ikut kajian kalau proker. Ikut ngaji kalau ada proker, kalau nggak ada proker ya nggak ikut apa-apa.

Saya setuju dengan teman saya (monggo kalau ada yang kurang setuju) dan berdasarkan apa yang saya lihat, alami, dan rasakan, itu merupakan salah satu akar mengapa banyak anggota yang merasa proker oriented. Ketimbang mengajak teman untuk meng-upgrade diri dengan aktif mengikuti kajian dan organisasi di luar, kita lebih sering fokus mengevaluasi anggota-anggota yang hanya datang pada kajian departemennya sendiri misalnya. Lalu kita menganggap bahwa anggota tersebut kurang mendukung departemen lain. Padahal, tahu apa kita tentang apa yang dilakukannya? Jika ia memang lebih membutuhkan materi dari kajian yang dibahas di tempat lain, dan selama tidak ada tanggung jawab yang harus dia tunaikan di kajian organisasi, mengapa harus memaksanya? Meskipun pada titik tertentu memang harus disadari bahwa terdapat program kerja yang semestinya dihadiri oleh semua anggota untuk pengembangan internal dan menguatkan ukhuwah bagi berjalannya jama’ahh dakwah—ingat, yang ingin dikuatkan adalah dakwah secara berjama’ahnya, bukan semata-mata supaya proker berjalan!

Lalu, apa yang harus dilakukan? Sebenarnya sebagian besar dari kita telah melakukan usaha untuk terhindar dari ‘kerja yang tak bermakna’ alias proker oriented tadi. Misalnya dengan mengikuti program-program upgrading diri yang sesuai dengan diri masing-masing seperti ngaji kitab dan halaqah. Dari majelis-majelis tersebutlah kita bisa terus diingatkan tentang memurnikan langkah awal (merumuskan niat), menjalani proses (menjaga niat), dan merayakan keberhasilan (kembali ke niat). Kok ngomongin niat terus, buat apa? Karena insya Allah niat yang kuat bisa menjaga kita untuk tangguh dalam jama’ah dakwah yang tentunya tidak akan luput dari masalah. Sementara itu, pihak-pihak yang secara struktur organisasi memiliki pengaruh (misalnya: anggota Badan Pengurus Harian dan para kepala divisi) haruslah menguatkan dan membangun pondasi organisasi dengan semangat “mari kita saling menguatkan untuk dakwah secara berjama’ah”, bukan hanya sekedar “mari kita sukseskan program-program kerja kepengurusan tahun ini”. Jika organisasi masih dibangun dengan semangat yang kedua, mungkin seluruh anggota perlu berkumpul untuk bersama-sama membuka AD-ART di bagian visi misi.

Pada akhirnya, kita sampai pada pertanyaan, yang berorientasi pada proker itu organisasinya atau justru anggotanya? Bukankah biasanya kita mengoar-ngoarkan BOLEH LELAH, ASAL LILLAH. Lillah kan? Berorientasi pada ridho Allah kan?

Allahu A'lam. Semoga ada kebaikan dalam tulisan ini. Aku memang tak sebaik penampilanku, tidak juga sebaik tulisanku. Namun aku juga tidaklah seburuk yang kau pikirkan.
Sby, 1 Juni 2017

7: 30 AM

Jumat, 24 Februari 2017

Terpaku pada Bentuk, Terlena dalam Fana

Kenapa nggak pasang foto profil di medsos?

Ketika muncul pertanyaan itu, biasanya banyak yang menjawab untuk menjaga pandangan orang yang melihat. Jawaban ini menurut saya benar sekali. Karena lewat foto itulah, orang2 di berbagai sudut tempat bisa memandangi kita hingga puas tanpa kita ketahui.

Tapi meskipun sudah tau begitu, saya sendiri masih bandel juga. Terkadang tidak berusaha membendung keinginan untuk pasang foto. Akhirnya ya masang, meskipun akhirnya yo ngerasa nggak enak. Karena sudah nggak terbiasa dan juga ngerasa berdosa juga.

Namun kemarin, saya mendapatkan alasan yang berbeda tentang foto profil (baca di postingan sebelumnya yap). Teman dari teman saya mengatakan alasannya tidak memasang foto profil adalah: terpaku pada bentuk, terlena dalam fana.

6 kata yang menurut saya sangat dalam dan mungkin sulit dimengerti. Kurang lebih maksudnya seperti ini: ketika kita memasang foto profil di medsos, foto tersebut akan membuat diri sendiri dan orang lain terpaku memandanginya. Apalagi biasanya yang dipajang adalah foto terbaru bin terbaik. Tak jarang itu akhirnya membuat kita terlena. Padahal sebenarnya apalah arti rupa, harta, dan tahta dibandingkan ketakwaan di sisi Allah?

Yaaa begitulah. Mendengarkan nasihat tersebut membuat saya harus merendahkan hati, agar dapat menangkap makna dan mengimplementasikannya. Ujian bagi hati yang akan terus berjalan meliputi hangatnya kehidupan.