Minggu, 06 Desember 2020

Ketika Usiamu 25 Tahun

Bismillah

Ketika aku berulang tahun yang ke 25 pada 14 November kemarin, sebakda subuh-belum selesai wirid beliau-Bunda lah yang pertama menyalamiku untuk mengucapkan selamat ulang tahun, kemudian dengan tatapan berbinar-binar mengucapkan doa-doa. Aku lupa lafal pastinya bagaimana, namun yang kuingat ialah Bunda berharap agar studiku lancar dan lancar pula urusan....ya, jodoh. Begitu pula ketika sore hari sebuah tumpeng dengan tulisan "Barakallah fii Umrik Fatin Philia H." mendarat di rumah. Setelah kami membaca doa yang dipimpin oleh Ayah, dengan piring di tangan dan wajah berbinarnya Bunda menoleh kepadaku yang duduk di samping beliau, "Semoga lancar semuanya ya Nduk..." 

Dalam "aamiin" yang aku ucapkan, sebenarnya yang terbersit dalam hati adalah, "Ya Allah, kabulkanlah doa orang tua hamba dan jangan biarkan tertundanya karunia membuat sabar, syukur, dan yakin kami kepada-Mu menjadi pupus." Karena bagiku, dan mungkin hampir semua anak merasakannya, ketika kesabaran akan penantian itu sudah mulai mantap, merasakan kesedihan orang tua membuka ruang sesak baru dalam hati.

Bunda mungkin tak mengira bahwa kehadiran Bunda, Ayah, dan Dek Opik adalah nikmat besar yang sangat dan harus aku syukuri. Terlebih ketika di masa pandemi ini, tak terhitung orang kehilangan orang tuanya, kehilangan saudaranya, bahkan kehilangan harapan. Rasanya aku sudah sangat kurang ajar, ketika aku berani merenungkan cita-citaku yang belum tercapai. Bahkan aku sadar betul bahwa rasa syukurku atas hal-hal yang sudah ada masih sangat sangat sangat kurang. 

Maka kini, pada hari-hari ketika aku mau tak mau harus mengatakan, teman SMA, teman MTs, atau teman kuliahku menikah kepada Ayah dan Bunda; bahkan bukan hanya teman-teman yang seusia denganku, tetapi juga teman-temannya Dek Opik, juga teman-teman seusia Ayah dan Bunda yang mantu. aku merasakan dalam keheningan aku mendengar pertanyaan, "Lalu anakku kapan?" 

Aku sungguh memahami keresahan yang Ayah dan Bunda rasakan sebagai orang tua, namun aku takut pada akhirnya keresahan itu membuat kita lupa bersyukur tentang buanyak sekali nikmat yang sudah Allah berikan. Bahkan rasanya aku tak sanggup menyebutkan tentang beragamnya kondisi teman-temanku saat ini. 

Aku sangat-sangat memahami, ujian kesabaran yang ada dalam masa penantian menunggu jodoh terdiri beberapa dimensi kemanusiaan. Tujuan utamanya memang menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam; namun ia juga mewakili manusia sebagai makhluk psikologis, makhluk biologis, dan juga makhluk sosial. Menikah sebagai ibadah memang bukan sesuatu yang ringan. Makanya lucu banget sebenarnya ketika ada mahasiswa yang bilang, "Duh, aku capek kuliah, pengen nikah aja." Padahal dengan menikah, tugas yang harus diemban bukan hanya semakin banyak, tapi juga semakin besar. Namun betapa agungnya Allah yang mengatur fitrah manusia: adanya rasa kosong ketika belum memiliki pasangan, adanya kecenderungan untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain. Sekalipun kita sudah memahami hakikat keagungan pernikahan, tetapi terkadang kondisi sosial membuat kita lupa, jadinya pengen "ndang-ndangan" biar nggak ditanya-tanyai lagi. Padahal pertanyaan kapan itu tidak akan pernah menemui ujungnya selama kita masih hidup di dunia. 

Maka aku berharap agar aku sendiri dan kita semua lebih bisa menghargai dan mensyukuri apa yang sudah ada sekarang. Karena dengan mencari-cari yang belum ada, maka yang ada tak terasa nikmat dan yang belum ada belum tentu hadir. 

Semoga kita lulus dengan predikat cumlaude dalam menghadapi ujian syukur dan sabar ini. 

Dan ucapkanlah: ALHAMDULILLAH...atas segala nikmat yang Allah berikan...