Jumat, 11 Desember 2020

Cinta yang Tak Terbendung

Ada yang tak bisa membendung cintanya, hingga lahirlah Qasidah Burdah, Maulid Diba', Qasidah "Yaa Arhamaraahimin", Maulid Al-Barzanji, Maulid Simthudduror, Maulid Ad-Dhiyau Lami...

Maka betapa cinta membuat hati bersenandung untuk selalu menyebut dan mengagungkan. Duhai hati, untuk siapakah senandung cintamu selama ini?

Minggu, 06 Desember 2020

Ketika Usiamu 25 Tahun

Bismillah

Ketika aku berulang tahun yang ke 25 pada 14 November kemarin, sebakda subuh-belum selesai wirid beliau-Bunda lah yang pertama menyalamiku untuk mengucapkan selamat ulang tahun, kemudian dengan tatapan berbinar-binar mengucapkan doa-doa. Aku lupa lafal pastinya bagaimana, namun yang kuingat ialah Bunda berharap agar studiku lancar dan lancar pula urusan....ya, jodoh. Begitu pula ketika sore hari sebuah tumpeng dengan tulisan "Barakallah fii Umrik Fatin Philia H." mendarat di rumah. Setelah kami membaca doa yang dipimpin oleh Ayah, dengan piring di tangan dan wajah berbinarnya Bunda menoleh kepadaku yang duduk di samping beliau, "Semoga lancar semuanya ya Nduk..." 

Dalam "aamiin" yang aku ucapkan, sebenarnya yang terbersit dalam hati adalah, "Ya Allah, kabulkanlah doa orang tua hamba dan jangan biarkan tertundanya karunia membuat sabar, syukur, dan yakin kami kepada-Mu menjadi pupus." Karena bagiku, dan mungkin hampir semua anak merasakannya, ketika kesabaran akan penantian itu sudah mulai mantap, merasakan kesedihan orang tua membuka ruang sesak baru dalam hati.

Bunda mungkin tak mengira bahwa kehadiran Bunda, Ayah, dan Dek Opik adalah nikmat besar yang sangat dan harus aku syukuri. Terlebih ketika di masa pandemi ini, tak terhitung orang kehilangan orang tuanya, kehilangan saudaranya, bahkan kehilangan harapan. Rasanya aku sudah sangat kurang ajar, ketika aku berani merenungkan cita-citaku yang belum tercapai. Bahkan aku sadar betul bahwa rasa syukurku atas hal-hal yang sudah ada masih sangat sangat sangat kurang. 

Maka kini, pada hari-hari ketika aku mau tak mau harus mengatakan, teman SMA, teman MTs, atau teman kuliahku menikah kepada Ayah dan Bunda; bahkan bukan hanya teman-teman yang seusia denganku, tetapi juga teman-temannya Dek Opik, juga teman-teman seusia Ayah dan Bunda yang mantu. aku merasakan dalam keheningan aku mendengar pertanyaan, "Lalu anakku kapan?" 

Aku sungguh memahami keresahan yang Ayah dan Bunda rasakan sebagai orang tua, namun aku takut pada akhirnya keresahan itu membuat kita lupa bersyukur tentang buanyak sekali nikmat yang sudah Allah berikan. Bahkan rasanya aku tak sanggup menyebutkan tentang beragamnya kondisi teman-temanku saat ini. 

Aku sangat-sangat memahami, ujian kesabaran yang ada dalam masa penantian menunggu jodoh terdiri beberapa dimensi kemanusiaan. Tujuan utamanya memang menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam; namun ia juga mewakili manusia sebagai makhluk psikologis, makhluk biologis, dan juga makhluk sosial. Menikah sebagai ibadah memang bukan sesuatu yang ringan. Makanya lucu banget sebenarnya ketika ada mahasiswa yang bilang, "Duh, aku capek kuliah, pengen nikah aja." Padahal dengan menikah, tugas yang harus diemban bukan hanya semakin banyak, tapi juga semakin besar. Namun betapa agungnya Allah yang mengatur fitrah manusia: adanya rasa kosong ketika belum memiliki pasangan, adanya kecenderungan untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain. Sekalipun kita sudah memahami hakikat keagungan pernikahan, tetapi terkadang kondisi sosial membuat kita lupa, jadinya pengen "ndang-ndangan" biar nggak ditanya-tanyai lagi. Padahal pertanyaan kapan itu tidak akan pernah menemui ujungnya selama kita masih hidup di dunia. 

Maka aku berharap agar aku sendiri dan kita semua lebih bisa menghargai dan mensyukuri apa yang sudah ada sekarang. Karena dengan mencari-cari yang belum ada, maka yang ada tak terasa nikmat dan yang belum ada belum tentu hadir. 

Semoga kita lulus dengan predikat cumlaude dalam menghadapi ujian syukur dan sabar ini. 

Dan ucapkanlah: ALHAMDULILLAH...atas segala nikmat yang Allah berikan...

Kamis, 19 November 2020

Habis Nikah

 Bismillah

Barusan ketika aku scrolling status whatsapp, aku baca status seseorang yang barusan menikah, yang lewat statusnya tersebut ia curhat tentang betapa rindunya ia dengan kehidupannya yang dahulu, sebelum pindah keluar kota demi mengikuti sang suami. Dulu sebelum menikah, statusnya agak galau galau gimana gitu menanti jodoh. Sekarang begitu sudah ketemu dengan jodoh, galaunya nggak hilang, tapi berganti ke bentuk yang lain. 

Aku jadi refleksi ke diriku sendiri. 

Se-nggak-pernah-puas-itu-ya-makhluk-bernama-manusia-ini?

Manusia akan selalu berusaha mengejar sesuatu yang sedang tidak ada dalam genggamannya. Ternyata makna "tidak ada dalam genggaman" itu bukan hanya terhadap hal-hal yang belum pernah dimiliki, tapi juga pada apa-apa yang pernah dimiliki.

Semakin mendapat, maka semakin ingin yang lebih banyak. Treadmill effect. 

Jadi inget sama salah satu ayat di Al-Baqarah: waskuruu lillaahi in kuntum iyyaahu ta'buduun~ dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.

Astaghfirullah~

Sabtu, 17 Oktober 2020

Sisi "Nggak Enak" dari Menjadi Mahasiswa Psikologi

Sore ini, seorang kawan di salah satu grup Whatsapp "berkonsultasi" kepadaku dan Husnul (saat ini Husnul sedang menempuh magister profesi psikologi mayoring pendidikan di UI) tentang suatu "kasus" yang berkaitan dengan psikologi pendidikan. Kawan tersebut menguraikan karakteristik kasus yang dihadapinya dan ia meminta tips dari kami, saran apa yang bisa kami berikan untuk " kasus" tersebut.

Ah. Saran. Tips. Solusi. Sesuatu yang selalu "diminta" oleh masyarakat kepada kami, mahasiswa psikologi, apalagi aku sekarang sudah di level magister, profesi pula. Suka tak suka, mau tak mau, aku harus terbiasa dengan pertanyaan ajaib, "Terus aku harus gimana?" yang sebagian orang meyakini bahwa mahasiswa psikologi tahu semua jawaban. 

Pertanyaan dari seorang kawan sore ini menyadarkanku bahwa kuliah itu bukan buat keren-kerenan. Bukan supaya diundang jadi pembicara di mana-mana, dianggap ahli, ada keterangan yang "keren" yang membersamai nama kita beserta gelarnya. Namun, itu adalah "beban". Tanggung jawab. Ada tuntutan tak kasat mata untuk mengikuti perkembangan informasi, terus banyak membaca referensi ilmiah terpercaya, banyak mendengar, dan tentu mengamalkan ilmu. 

Jadi, diriku, apa kamu berani merasa "bangga" dengan gelar yang kamu miliki?

Malang, 17 Oktober 2020

Jumat, 16 Oktober 2020

Branding Diri Ala Para Kekasih Allah

Hari Ahad 2 pekan yang lalu, aku mengikuti Majelis Syahriyah ROBWAH Foundation. Seperti namanya, majelis ini diadakan satu kali setiap bulannya khusus untuk keluarga besar ROBWAH Foundation. Pada pembukaan majelis yang diadakan secara online tersebut, Ustadz Afri menugaskan Mas Faishol untuk menyenandungkan beberapa bait dari qasidah "Yaa Arhamarrahimin..."

Sebakda itu, Ustadz Afri sedikit bercerita tentang Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, sang penulis qasidah Yaa Arhamarrahimin tersebut. Tentang betapa ikhlasnya beliau. Dengan keikhlasan itu, Allah menjadikan qasidah karya beliau menyejarah, terus hidup melintasi waktu ratusan tahun meskipun beliau kini sudah menghadap Allah, menggaung hingga ke daerah-daerah pelosok. Ustadz Afri pun kemudian menyebut nama sosok-sosok lainnya seperti Imam Syafi-i dan imam-imam lainnya, yang karya dan manfaatnya terus menyebar melintasi ruang dan zaman. 

Mereka itu sibuk mem-branding diri di hadapan Allah. Fokus mereka adalah bagaimana agar Allah ridho. Hingga Allah pun cinta kepada mereka. Maka seketika itu pula seluruh penduduk langit dan bumi turut mencintai mereka. Itulah mengapa meskipun kita belum pernah berjumpa dengan mereka, kita mencintai mereka.

Nyes....maa syaa Allah...Hari-hari ini mungkin kita dibuat penat dengan berbagai teori dan pembicaraan soal branding diri; disibukkan dengan perkara like, viewer, subcriber, dan semacamnya; maka kita mendapatkan ketenangan kembali dengan belajar dari para kekasih Allah tersebut. Bahwa tugas kita adalah fokus berbuat kebaikan semampu kita. 

Malang, 16Oktober2020

Senin, 12 Oktober 2020

Ketika Buku Katarsis Dibedah Oleh Ustadz Khaliel Anwar

Sebagaimana seorang anak yang tentu ingin menunjukkan ijazah yang didapatkannya kepada orang tuanya yang berjasa besar atas diraihnya ijazah tersebut, maka begitulah saya ketika buku Katarsis ini alhamdulilah rilis. Saya ingin sekali mengirimkan buku ini kepada salah dua orang tua saya di Surabaya, yang berjasa sangat besar bagi hidup saya, yaitu Ustadz Anwar dan Ustadz Afri sebagai bentuk terimakasih dan ngalap berkah. Kan seneng ya kalau ada nama kita di rak buku beliau, berjajar bersama kitab-kitab yang beliau gunakan untuk mengajar. Saya pernah melihat secara langsung buku yang saya tulis ada di rak buku Ustadz Afri...rasanya... :') Maa syaa Allah. 

Sebelumnya saya izin dulu apakah beliau berkenan. Karena sesungguhnya saya sungkan. Merasa tidak pantas. Takut juga macam orang minta di-endorse :"). Sempat kepikiran juga mau bilang, "Jangan dibuat status ya Ustadz" (saking takutnya mirip sama orang minta diiklankan)😂 tapi kok ya nggak sopan wkwk. Apa yang saya takutkan pun terjadi. Ustadz Anwar dan Ustadz Afri mengunggah tentang buku ini melalui status WhatsApp beliau, yang mana itu akhirnya membuat saya sulit memejamkan mata 😆

Bahkan tak lama setelah Ustadz Anwar membaca buku ini sekilas, beliau menyampaikan, "Kalau berkenan saya ingin membedah buku ini lewat acaranya hubb.id."

Rendah hati sekali beliau, menyelipkan kata, "Kalau berkenan," Padahal ya tentu berkenan sekali :")

Alhamdulillah pada hari Jumat 9 Oktober yang lalu acara bedah buku tersebut sudah dilakukan. Buat yang penasaran bisa cek di YouTube "Robwah Foundation", di playlist "Sharing Hikmah Buku". Tapi buat yang ga kuat nonton sampai selesai sesi diskusi, disarankan menunggu saat yang tepat untuk bisa menyimak secara tuntas, karena pembahasannya agak tricky jadi harus ngikuti sampai selesai 😀👍

Sharing Hikmah Buku "Bait Cinta Sang Musafir" dan "Katarsis: Membereskan Beban Hati"

Terlepas dari isi atau hikmah bukunya, hikmah yang saya dapatkan dari diskusi bersama Ustadz Anwar ialah semakin dalam keilmuan seseorang, akan semakin besar pula cintanya kepada sesama yang itu terimplementasikan dalam kemauan untuk mendengarkan, memahami, dan memaklumi. 

Minggu, 11 Oktober 2020

Bedah Buku: Munculkan Secuil Aja Biar Penasaran Atau...

Bismillah

Hari ini aku bersama dua penulis buku "Katarsis: Membereskan Beban Hati" lainnya yaitu Husnul dan Sita mendapatkan kesempatan untuk berbagi dalam webinar yang diadakan oleh Go English. Kami mempresentasikan sebagian (karena waktunya terbatas) materi buku kami dengan menyorot topik "Cerdas Kelola Emosi: Agar Kamu Nggak Nyesek Lagi". 

Sesi presentasi kami dibuka oleh Sita yang berbicara tentang bagaimana irrational belief menjadi salah satu penyebab kita mengalami "nyesek". Menurutku, Sita membawakan materi dengan sangat menawan, maa syaa Allah. Menyimaknya ibarat sedang mendengarkan seorang penyiar radio yang sudah berpengalaman. Aku yakin para peserta webinar yang mayoritas adik-adik SMA itu pun terpesona. 

Setelah itu, tibalah giliranku yang sudah lumayan grogi menyimak Sita, khawatir aku terlalu njomplang darinya. Aku kebagian menjelaskan tentang penyebab "nyesek" lainnya yaitu ruminasi, supresi, dan represi sampai ke definisi katarsis. Aku belibet banget guys ngomongnya :')) Mungkin karena aku sudah terpesona sama Sita yang luwes banget, sehingga mungkin secara tidak sadar aku menuntut diriku untuk bisa seperti itu, padahal jelas style kami itu berbeda...alhasil belibet lah akhirnya. Huhu...sedih...

Kemudian giliran Husnul yang menjelaskan tentang apa dan bagaimana melakukan teknik katarsis secara sehat. Penjelasan Husnul memberikan pencerahan kepada peserta tentang beragam pilihan teknik katarsis yang bisa mereka lakukan. Husnul juga keren banget, maa syaa Allah. Santai bwanget pembawaannya, tapi pesannya nyampe. 

Selepas sesi penyampaian materi oleh kami bertiga, akhirnya masuk ke sesi tanya jawab. Ada beberapa pertanyaan menarik yang masuk, dan alhamdulillah semuanya dapat dijawab dengan baik (oleh Husnul dan Sita wkwk). Melihat jawaban kedua teman yang ces pleng tersebut, moderator spontan menanyakan kontak kami jikalau adik-adik remaja tersebut membutuhkan teman untuk berbagi secara tepat. Alhamdulillah ada Sita (wkwkw), yang saat ini sedang menjalani tugasnya sebagai konselor sebaya di lembaga konsultasi psikologi BE Psychology Kediri, yang menerima konsultasi secara gratis.

Udah gitu aja sih ceritanya hehe. Alhamdulillah diberikan kesempatan untuk berbagi hehehe.

***CERITA DI BALIK LAYAR***

Pada saat kami mendapatkan undangan untuk berbagi tentang buku kami, muncul diskusi dalam grup WhatsApp kami: "Apakah sebaiknya kita memunculkan bagian-bagian tertentu saja sehingga orang akan penasaran dan membeli buku kami, atau bagaimana?"; sampai akhirnya kami sampai pada satu kesepakatan: berikan sebanyak yang bisa kita berikan, soal ada yang beli atau tidak, itu adalah rezeki yang sudah diatur, yang penting kita jangan sampai menyembunyikan ilmu. 

Kamis, 02 Juli 2020

Laki-laki Pertama yang Mengetuk Pintu

Teman-teman yang berusia 23-an ke atas, apalagi sudah lulus kuliah, biasanya kegalauan soal jodoh cukup mendominasi hari-harinya. Hal ini bisa dimaklumi, karena selain merupakan ibadah yang sangat agung yang membutuhkan ilmu dan banyak kesiapan, pernikahan juga mengandung unsur pemenuhan kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial. Jadi... meskipun para senior kita yang sudah menikah sering mengingatkan bahwa nikah itu perjuangan, pasti ada masalah yang akan menerpa, banyak penyesuaian yang harus kita lakukan; pada akhirnya yang mendominasi benak kita adalah manis-manisnya.

Setiap orang memiliki jalan ceritanya masing-masing dalam bertemu dengan jodohnya. Asalkan jalan yang ditempuh dalam menjemput jodoh tidak melanggar syariat, kita bisa mengambil hikmah dari setiap cerita tersebut. Ada yang sama sekali nggak ada pikiran untuk menikah, tapi tiba-tiba orang yang tepat itu datang. Ada yang sudah berusaha semaksimal mungkin tapi selalu berakhir kandas. Ada yang sudah terasa mantep banget dengan seseorang, tapi ternyata yang berani menyatakan duluan justru orang yang lain. Dan sebagainya. Selama kita nggak melanggar aturan Allah, kita perlu mensyukuri jalan yang harus kita lalui.

Nah kali ini aku mau cerita tentang seorang kawan yang beberapa hari lalu mengabarkan bahwa ia akan menikah beberapa pekan lagi. Kawanku ini adalah seorang aktivis di kampus. Sebagai aktivis, apalagi dia beberapa kali menempati posisi strategis, dia sering dijodohkan dengan si A, si B, dan si C oleh kawan-kawannya. Entah mengapa kami senang sekali menebak-nebak, siapa di antara teman laki-laki kami yang beruntung bisa menjadi pasangannya*. Tapi ternyata, nama yang bersanding dengannya di undangan tersebut bukanlah nama yang kami kenal.

Usut punya usut, ternyata memang kawanku tersebut memiliki prinsip bahwa ia tidak menggantungkan harapannya pada seorang laki-laki. Ia akan menikah dengan laki-laki pertama yang mengetuk pintu dan ia cocok. Dari cerita tersebut, aku teringat pula dengan seorang kakak tingkat yang orangnya kalem sekali. Cerita beliau bertemu dengan jodohnya itu simpel buanget. Gak galau-galau lah pokoknya. Adanya masalah itu pasti, tapi nggak sampai berlarut-larut.

Dua kisah tersebut bagiku pribadi sangat menggugah hati. Aku tersentuh. Oh ini lho yang dimaksud dengan "Allah sesuai prasangka hamba." Kalau ada yang mikir jodoh itu ribet, ya ribet beneran. Na'udzubillah T_T. Kalau ada yang berpikir bahwa menjemput jodoh itu harus lewat pacaran, kalau enggak ya nggak ketemu jodoh. Ya beneran dah kayak gtu jadinya. Bakalan muter aja cerita cintanya di masalah begituan. Na'udzubillah. Kalau ada yang mikir jodoh itu datang dengan cara sebar umpan sana sini, sebar kode siang dan malam, ya bakalan ribet aja cerita cinta kita di seputar begituan. Na'udzubillah.

Sementara dua temanku tadi melihat proses jodoh secara sederhana, sebab yakin Allah akan menghadirkan orang yang tepat pada saat yang tepat.

Ya Allah...

Sekali lagi, tiap orang punya jalannya masing-masing Guys. Karena tiap kita punya kecenderungan yang berbeda. Ada yang diem, ada yang agresif, hehe. Kalau memang ingin menyampaikan, sampaikan dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah dan rasul-Nya. Selama itu tidak melanggar syariat, dan sudah siap, gaskeunnnn. Jangan lupa semua harus dikawal dengan niat dan ilmu yang benar yaa. Jangan terlalu ngoyo juga. Jodoh itu bagian dari rezeki. Rezeki itu udah dijamin.

Aku tau yakin itu proses Guys. Jadi aku cuma bisa bilang, TETEP SEMANGAT DAN TETAP PRODUKTIF YAA KITA! Wkwkwk.

Nih aku kasih penutup untuk menambah keyakinan kita.

Guru-guru kita membuat analogi seperti ini. Bayangin di hadapan kita ada karpet 5 meter. Bisa nggak kita melewatinya dalam sekali langkah atau sekali lompatan? Kita cenderung berpikir nggak mungkin kan? Padahal....bukankah karpet itu bisa digulung, lalu kemudian dilewati dalam sekali langkah? Pikiran kita sering membatasi kehendak Allah. Padahal Allah selalu punya cara. Allah sesuai prasangka kita. Kalau kita mikirnya ruwet, hanya mengandalkan usaha kita, ya begitulah kita bakalan diribetkan dengan logika sebab akibat yang kita bangun. Note to myself: belajar mikir sederhana aja, nggak usah terlalu dipikir bagaimananya🤧. -Dari penjelasan Ustadz Afri  beberapa pekan lalu-

Semoga bermanfaat dan semua hajat baik kita dikabulkan Allah. Aamiin

*Padahal sebenarnya ketika Allah sudah menjodohkan, itu bukan soal keberuntungan, melainkan memang Allah ciptakan untuk saling mengisi.

Senin, 11 Mei 2020

Doa Paling Sunyi

Bismillahirrahmanirrahim

Kawan, pernahkah kau merasa sangat bersyukur atas kebaikan yang orang lain lakukan kepadamu? Hingga pujian "Betapa baiknya orang ini," terus memenuhi benakmu. Hingga dalam hatimu engkau berdoa, "Ya Allah, bahagiakan dia, bahagiakan dia, bahagiakan dia. Ya Allah, penuhilah segala keinginan baiknya." Inikah yang dinamakan doa di kala dan tempat yang paling sunyi? Bahkan orang yang 'berdoa' pun seolah tidak sadar ketika melakukannya. Yang ia tahu, ia ingin agar orang yang sudah membantunya ini bahagia. Kawan, maukah kau mendapatkan doa yang begitu sunyi namun indah itu?

Sabtu, 18 April 2020

Memilikimu

Ada banyak sekali jenis cinta di dunia ini
Yang jika kita cinta, bukan lantas harus memiliki
Ada banyak sekali jenis suka, kasih dan sayang di dunia ini
Yang jika memang demikian, tidak harus dibawa pulang

Ada banyak sekali jenis cinta di dunia ini
Yang jika sungguh cinta, kita akan membiarkannya
Seperti apa adanya
Hanya menyimpan perasaan itu dalam hati
Selalu begitu, hingga akhir nanti.

(Cuplikan sajak 'Memilikimu' karya Tere Liye)

Rasa suka, kagum, dan cinta kita pada kebaikan yang berwujud manusia, benda, atau perkumpulan adalah hal yang wajar. Kita berasal dari Yang Maha Baik, maka memang fitrah kita mencintai kebaikan. Namun, tidak semua kebaikan itu bisa kita miliki. Terkadang kita hanya bisa memandang dari jauh, mendoakannya, menjadikannya sebagai penyemangat dan warna dalam kehidupan. Terkadang kita harus menerima bahwa ia hanya diizinkan singgah sesaat, menumbuhkan harapan-harapan, kemudian pergi untuk selamanya sekeras apapun kita berusaha mencegahnya. Kita berusaha menerka-nerka, kebaikan besar apa yang Allah sembunyikan, sehingga kita tak diizinkan 'memiliki' semua kebaikan? Terkadang Allah menyingkap alasannya, namun sering pula Dia membiarkan kita berproses dahulu selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup dalam tanda tanya. Jika kita ngotot mengejar kebaikan yang sebenarnya tidak diperuntukkan bagi kita, Allah dengan kasih dan kelembutan-Nya membuat kita merasakan sesak, sampai lahir kesadaran "Sudah cukup aku memperjuangkannya." Kita bersyukur dianugerahi kecintaan terhadap kebaikan. Maka semoga Allah curahkan kebaikan selalu kepada kita. Aamiin.

Rabu, 15 April 2020

Ketika Kami 'Ceramah' di hadapan Ustadz

Assalamu'alaikum teman-teman!
Pada postingan kali ini saya mau cerita tentang salah satu kegiatan Hubb.id (@hubb_id). Oh iya, saya belum pernah cerita tentang Hubb.id di blog ya. Hubb.id adalah komunitas di bawah payung Robwah Foundation yang menggiatkan literasi. Bagi teman-teman yang penasaran dengan komunitas yang baru berdiri selama setahun ini, bisa cari tahu di instagram kami @hubb_id. 

Oke, lanjut. Sekitar bulan Oktober 2019 (kalau nggak salah), teman-teman anggota Hubb.id pernah berkumpul untuk berbagi isi dan hikmah dari buku yang sudah dibaca. Pada sharing buku perdana tersebut, yang mendapatkan giliran adalah Tommy dan Mbak Hestin. Tommy sharing buku tentang bidang yang ia dalami-Sistem Informasi, sedangkan Mbak Hestin sharing salah satu buku Ustadzah Halimah Alaydrus. Namun pasca hari itu, dikarenakan beberapa hal, salah satunya karena kami fokus mempersiapkan pelatihan kepenulisan untuk awal Desember, tidak ada sharing buku secara langsung berikutnya.

Hari-hari berlalu. Hubb.id bergerak di media sosial saja dengan membagikan tulisan-tulisan dan video. Termasuk ketika pandemi covid 19 saat ini, Hubb.id berusaha mengunggah tulisan-tulisan maupun video yang menyejukkan di tengah kepanikan yang sedikit banyak mengikis keyakinan kita akan kuasa Allah. Sampai suatu hari, Ustadz Afri Andiarto, selaku pembina kami dan founder Robwah Foundation beserta 4 komunitas di bawahnya menyampaikan ide agar kami mengadakan diskusi buku lagi. Ya, tentunya secara daring atau online.

Bebeberapa hari setelah ide tersebut Ustadz sampaikan, aku menawarkan kepada teman-teman Hubb.id, siapa saja yang berkenan menjadi narasumber. Maa syaa Allah, ternyata teman-teman Hubb.id dan Ustadz menyambut dengan antusias. Langsung ada 6 orang (termasuk saya) yang mengajukan tema diskusi beserta buku acuannya. Saya langsung membuat 'jarkoman', Husada  membuat poster. ALHAMDULILLAH PAK DOKTER HUSADA AGAK LONGGAR HEHE. Setelah itu, kami merilis undangan untuk hadir melalui grup-grup komunitas Robwah Foundation. Responnya juga di luar dugaan saya. Mereka menunjukkan antusiasme. 

Pertemuan pertama pada 10 April 2020 diisi oleh Ustadz Afri tentang 'mimpi dalam islam' (buku The Ultimate Psychology) dan Husada tentang 'doa dan ikhtiar' (buku Iman Kunci Kesempurnaan). Alhamdulillah yang bergabung di forum ini sekitar 30 orang, diskusi begitu hidup, pokoknya seru deh. Senang sekali. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmussholihaat. 

Kemudian tibalah hari Rabu, 15 April 2020. Saatnya saya dan Khotijah yang jadi narasumber. Karena belum berani membedah buku agama, akhirnya saya memilih buku yang berbau psikologi-> Empowering Children: Play-Based Curriculum for Lifelong Leaning sementara Khotijah memilih buku Cerita Siswa yang Gemar Mengumpulkan Daun-daun. Sebelum pertemuan daring ini dimulai, saya sudah berusaha menata hati. Saya nggak ingin berharap pada siapapun selain kepada Allah. Niatku berbagi ilmu. Titik. Entah nanti bakalan sepi banget atau nggak sehidup ketika pertemuan pertama, saya nggak boleh kecewa. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah seseorang yang oleh Allah diberi sedikit dari ilmu-Nya yang tak bertepi dan berusaha menebar manfaat.

Namun, teman-teman, beberapa menit sebelum pertemuan itu dimulai, siapa coba yang bingung woro-woro di grup? Ustadz Afri :') "Beliau nggak ada jadwal kuliah kah?" batinku. Begitu forum Zoom dibuka, beliau termasuk yang pertama masuk di forum dan ternyata menyimak serta bertahan sampai akhir. Begitu forum ditutup, beliau langsung kirim jempol melalui grup WhatsApp Hubb.id. Beliau juga mengatakan, "Menarik dan banyak ilmu baru." Jujur aku terharu banget sih. Beliau yang memiliki banyak jamaah, dicintai dan diikuti oleh banyak anak muda; berkenan untuk memberikan dukungan secara langsung dengan menyimak penjelasan kami selama kurang lebih 2 jam. 

Memang sih...menurut saya, salah satu kunci yang membuat teman-teman mahasiswa dan sampai lulus dan keluar dari Surabaya terus ingin menjalin silaturahim dengan beliau adalah beliau merupakan sosok yang mudah mengapresiasi dan mensyukuri. Beliau mengapresiasi hal-hal sederhana yang kami capai, hal-hal yang kami miliki. Dan kali ini...bahkan beliau mau 'belajar' dari penjelasan kami. Maa syaa Allah...sehat selalu Ustadz, Mbak Osyi, dan keluarga...

Selasa, 14 April 2020

Asyiknya Belajar Psikologi

"Asyiknya Belajar Psikologi" kutulis menjelang 1 tahun terakhirku sebagai mahasiswi Fakultas Psikologi UNAIR. Motivasiku menulis buku ini adalah aku ingin memperkenalkan ke orang banyak, khususnya adik-adik yang masih SMP/ SMA, tentang kuliah psikologi 'yang sebenarnya'. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak yang salah paham. Misalnya menganggap bahwa dengan mempelajari psikologi, seseorang akan bisa membaca kepribadian orang lain dengan sekali tatap. Kemudian ada pula anggapan bahwa psikologi adalah jurusan yang mudah dinalar jadinya sebelum ujian nggak perlu belajar. Tak sedikit pula yang berpikir bahwa psikologi adalah jurusan yang bebas dari angka. Serta masih banyak anggapan yang 'lucu' (atau salah kaprah?) lainnya. Maka dengan membaca buku ini, semoga adik-adik bisa memiliki 'motivasi yang benar' saat akan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa psikologi. Motivasi yang benar dan mantap insyaa Allah akan membuat adik-adik lebih 'survive' ketika nanti harus berhadapan dengan berbagai tantang sebagai mahasiswa. 

Selain itu, aku berharap bahwa buku ini bisa menjadi buku pedoman yang asyik bagi teman-teman yang sudah resmi menjadi mahasiswa psikologi. Pedoman untuk apa? Yaitu supaya teman-teman lebih aware dengan berbagai tantangan, kesempatan, dan bahkan kekuatan yang harus teman-teman kerahkan dalam menjalani dunia kemahasiswaan. Banyak banget lho yang ingin berada di posisi teman-teman saat ini. Jadi pastikanlah teman-teman memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.

Nah, untuk mencapai tujuan itu, aku melukiskan beberapa bab dan subbab dalam buku ini. Berikut daftar isinya: 

- 'Psikologi Bertentangan dengan Islam', Benarkah?
- Serunya Kuliah di Psikologi
- Apa Saja Sih yang Dipelajari di Psikologi? (sub-bab: Warna-warni Semester Awal, Perjuangan Semester Pertengahan, Haru Biru Semester Akhir)
- Mencari Tempat Tinggal
- Manajemen Waktu
- Lomba-lomba
- Surat dari Masa Lalu (Aku yang Awalnya Tidak Ingin Kuliah di Sini)
- Mahasiswa Itu... Ya Gini!
- Magang Yuk!
- Kuliah di Psikologi, Mau Jadi Apa?

Lengkap kan....? Hehehe. Alhamdulillah... 
Buku ini aku terbitkan secara indie pada April 2019. Bagi teman-teman yang berminat membeli, bisa hubungi aku via email: fatinphilia3@gmail.com atau DM instagram @fatinphiliahikmah2
Berikut beberapa testimoni pembaca:

Setelah membaca buku Kak Fatin, rasanya rahasia besar mahasiswa psikologi kini terungkap lebar. Dan sedetik kemudian saya meletakkan bukunya, lalu bangkit dan mulai menyusun rencana agar empat tahun saya nanti berlangsung dengan penuh kesan 
-Farah (mahasiswi Psikologi Universitas Syiah Kuala)
Buku yang membuat saya terpukau. Seandainya saya tahu bahwa psikologi sehebat ini, mungkin sejak masa SMP saya sudah belajar. Dengan membaca buku ini, seakan-akan saya menjadi aktor yang siap membombardir dunia. Keren! 
-Mukhlisin (mahasiswa Psikologi UIN Malang)
...Buku ini bukan sekedar curahan hati selama menjadi mahasiswa psikologi, tetapi juga menyajikan dengan sangat asyik tentang apa saja yang perlu dipahami, disiapkan dan diluruskan, bagaimana sebaiknya menjalankan perkuliahan serta bagaimana caranya melihat dan membangun masa depan dengan bekal psikologi...
-Nursita (wisudawan berprestasi Fakultas Psikologi UNAIR Juli 2018)