Jumat, 29 September 2017

Getar Cinta, Harap, dan Takut

Bismillah

Dalam dua buku Ustadz Salim yang saya baca, sering saya temui untaian kata 'dalam getar cinta, harap, dan takut' ketika beliau menggambarkan bagaimana kita menghamba di hadapan Allah SWT. Untaian kata tersebut membuat hati saya berdesir tersebab indahnya diksi yang dipilih. Namun, saya tak benar-benar paham. Sempat ada keinginan untuk bertanya terkait hal ini kepada beliau dalam sebuah majelis, namun urung karena saya bingung bagaimana mengungkapkannya.

Hingga akhirnya dalam majelis yang lain beliau menjelaskan bahwa  pada  tiga  ayat al fatihah secara berurutan merupakan ungkapan cinta, harap, dan takut. Adalah ayat 2 sebagai ungkapan cinta. Segala puji bagi  Allah,  Tuhan Semesta Alam. Karena hakikat mencintai adalah mengagungkan yang dicintai. Kemudian ayat ketiga, Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang adalah ungkapan harap. Dilanjut ayat keempat, Yang Menguasai Hari Pembalasan, merupakan ungkapan takut.

Hati saya kembali berdesir. Tersebab sempurna-Nya kuasa dan sifat Zat yang tadi, kini, dan nanti menyaksikan saya. Dengan memuji-Nya, genaplah keyakinan akan hinanya diri. Dengan berharap akan kasih-Nya, sempurnalah pemahaman akan tercukupi diri atas kasih dalam bentuk suka maupun duka. Dengan mengingat bahwa Allah adalah pemilik hari akhir, takutlah diri...menolak dunia, tersebab rindu ingin melihat wajah-Nya nanti dalam ridho lagi diridhoi.

Di kereta, 290917
Oleh perempuan yang menyukai seni dalam bentuk tulisan bebas namun bertanggungjawab, ditaqdirkan Allah mengenal dunia ilmiah bernama psikologi. Masih perlu banyak berbenah.

Rabu, 06 September 2017

Sopir Travel dan Sholat Subuh

Tadi malam, aku ke Banyuwangi naik travel untuk mengantarkan Eyang pulang setelah menjalani pengobatan di Malang. Setelah menjemput beberapa penumpang lainnya, travel melaju meninggalkan Malang sekitar pukul 20.30. Setelah menempuh perjalanan yang panjang lagi padat dengan truk-truk besar, kemudian mengantarkan para penumpang lainnya di tempat tujuan, tinggallah aku, Eyang, dan Pak Sopir beserta temannya. Mobil melaju kencang menembus jalanan sepi menuju tujuanku. Pukul empat lebih, terdengar sayup-sayup suara adzan subuh. Sepanjang jalan desa yang kami lewati nampak bapak-bapak dan ibu-ibu sepuh bahkan anak-anak berjalan menuju masjid/musholla terdekat.

Wah, sudah subuh. Kira-kira Pak Sopir sholat subuh nggak ya? Batinku. Kalau aku dan Eyang yang tidak sedang menyetir sih bisa sholat di mobil dengan niat menghormati waktu kemudian nanti diqodho. Tapi kalau beliau yang sedang menyetir….bagaimana ya?

“Eyang, subuhan.” Saya membangunkan Eyang dengan suara yang agak dikeraskan supaya Pak Sopir mendengar dan tak sungkan jika misal beliau mau izin berhenti di mushola.

Tapi rupanya suara saya masih kalah sama desing mobil yang agak ngebut.

Duuuh…Resah rasanya karena saya merasa beliau juga tanggung jawab saya.

Akhirnya setelah berusaha mengalahkan kesungkanan yang begitu besar (karena pada dasarnya saya ini pendiam dan pemalu) saya mengatakan, “Mas, monggo lho kalau mau berhenti buat sholat.”

Hening…Pak Sopir dan temannya speechless, bingung.

“Maksud saya Masnya mungkin mau sholat…nggak papa lho.”

Dan Pak Sopir dan temannya tertawa…entah apa maknanya. Tapi hingga saya sampai di tujuan dan langit sudah beranjak cerah, kami tidak berhenti di musholla. Setelah saya pikir-pikir...kenapa tadi saya nggak minta langsung berhenti di musholla ya...hmmm

Keresahan yang sama juga saya rasakan ketika sesekali naik travel dari Malang ke Surabaya. Saya mau menawari Pak Sopir untuk berhenti, tapi ada banyak penumpang yang sedang terburu-buru supaya tidak terlambat naik pesawat atau masuk kerja pagi. Ya, Pak Sopir selama kerjanya berada di bawah ‘tekanan’ bos dan juga penumpang (customer). Dengan ritme kerja yang seperti ini, mereka yang dulunya sholat lima waktu mungkin menjadi terbiasa meninggalkan sholat.

Lalu, bagaimana ya solusinya?

Sebuah perjalanan memang menguras waktu dan tenaga. Maka dari itu, Allah memberikan keringanan dalam sholat dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Sehingga manusia bisa tetap bepergian namun tidak meninggalkan kewajiban sholat. Itu artinya, apapun alasannya jangan sampai meninggalkan sholat. Seperti lirik puisi sajadah panjang, bahwa sejatinya kegiatan di luar ‘sholat’ hanyalah interupsi, bukannya sebaliknya, apalagi sampai ditinggalkan. Menyadari agungnya kewajiban sholat, sudah semestinya setiap pihak juga mempertimbangkan ‘bagaimana sholatnya’ dalam setiap kegiatan. Izin untuk sholat semestinya dipandang penting sebagaimana orang bilang ‘izin ke kamar mandi karena udah kebelet banget’ atau ‘izin turun beli kopi karena ngantuk sekali’. Dalam konteks ini yaitu travel, pemilik travel bisa menetapkan kebijakan untuk mengizinkan sopirnya berhenti untuk sholat serta mengatur jam keberangkatan supaya sopir tetap dapat sholat pada waktu yang masanya singkat seperti subuh. Kita sebagai penumpang pun sebisa mungkin harus memberikan ruang bagi Pak Sopir untuk memperoleh haknya untuk sholat. Bagaimanapun penampilan Pak Sopirnya dari luar, cobalah tawari ia untuk berhenti sholat sejenak. Setidaknya kita sudah berusaha untuk ‘mengutik’ hatinya. Jika pada saat itu ia masih belum mau berhenti, mungkin ia bertekad supaya selanjutnya ia sholat tersebab ada orang yang peduli dengan haknya. Wallahu a’lam.
Banyuwangi, 070917

Nb: Monggo kalau ada kritik