Bismillah
Satu dari sekian banyak masalah klasik sebuah organisasi adalah
berjalannya organisasi yang dinilai hanya berorientasi pada program kerja alias
proker oriented. Lembaga Dakwah
Kampus (LDK) pun mengalaminya. Beberapa kawan dari LDK maupun LDF pernah menceritakan
hal tersebut kepada saya dengan menunjukkan mimik muka kecewa. Artinya,
sekalipun tidak bisa dipungkiri bahwa yang namanya organisasi mestilah terdiri
dari proker-proker dan biasanya berhasil/tidaknya organisasi itu dinilai dari
prokernya, namun ternyata anggota yang bergerak di dalamnya tidak ingin jika proker
dijadikan tujuan, nyawa, dan tolok ukur bagi organisasi. Mereka menginginkan lebih.
Tapi apa?
Berdasarkan keluhan kawan-kawan tentang perkara ini, aku mengambil
kesimpulan bahwa mereka memaknai proker
oriented sebagai suatu sifat dari organisasi yang hanya kerja, kerja, dan kerja namun tidak
membuat anggotanya merasa bermakna ketika melakukannya. Sekalipun proker tersebut
melibatkan seluruh anggota, tidak membuat mereka semakin erat. Meski proker itu mengusung tema
yang nampak begitu wah dan menjunjung semangat akan cita-cita yang tinggi, tapi
jangan-jangan mereka sendiri tidak tahu urgensi dari tema itu. Karena apa? Banyak
faktor. Mungkin karena kita belum berusaha untuk bertanya ‘untuk apa saya
melakukan ini’ untuk kemudian membulatkan niat. Akibatnya, dalam menjalankan
proker yang sebenarnya mengandung amanah agung itu, kita justru merasa
diperlakukan seperti mesin.
Tapi gambaran proker
oriented sebagai kurangnya pemaknaan masih abstrak dan belum membuat saya
menemukan akar masalahnya. Hingga akhirnya beberapa hari lalu, saya berdiskusi
dengan seorang teman mengenai salah satu project
kami yang mandeg, bahkan orang-orang yang terlibat memilih diam—bukan
karena mereka tidak peduli, mungkin sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Dari
diskusi tersebut, saya terpelatuk sebab kalimatnya ini:
Problemnya mendasar. Kalau aku nyebutnya kita itu aktivis dakwah
proker. Jadi ikut kajian kalau proker. Ikut ngaji kalau ada proker, kalau nggak
ada proker ya nggak ikut apa-apa.
Saya setuju dengan teman saya (monggo kalau ada yang kurang
setuju) dan berdasarkan apa yang saya lihat, alami, dan rasakan, itu merupakan
salah satu akar mengapa banyak anggota yang merasa proker oriented. Ketimbang mengajak teman untuk meng-upgrade diri dengan aktif mengikuti
kajian dan organisasi di luar, kita lebih sering fokus mengevaluasi
anggota-anggota yang hanya datang pada kajian departemennya sendiri misalnya.
Lalu kita menganggap bahwa anggota tersebut kurang mendukung departemen lain.
Padahal, tahu apa kita tentang apa yang dilakukannya? Jika ia memang lebih
membutuhkan materi dari kajian yang dibahas di tempat lain, dan selama tidak
ada tanggung jawab yang harus dia tunaikan di kajian organisasi, mengapa harus
memaksanya? Meskipun pada titik tertentu memang harus disadari bahwa terdapat
program kerja yang semestinya dihadiri oleh semua anggota untuk pengembangan
internal dan menguatkan ukhuwah bagi berjalannya jama’ahh dakwah—ingat, yang
ingin dikuatkan adalah dakwah secara berjama’ahnya, bukan semata-mata supaya
proker berjalan!
Lalu, apa yang harus dilakukan? Sebenarnya sebagian besar
dari kita telah melakukan usaha untuk terhindar dari ‘kerja yang tak bermakna’
alias proker oriented tadi. Misalnya
dengan mengikuti program-program upgrading
diri yang sesuai dengan diri masing-masing seperti ngaji kitab dan halaqah. Dari majelis-majelis tersebutlah kita bisa terus diingatkan tentang memurnikan langkah awal (merumuskan niat), menjalani
proses (menjaga niat), dan merayakan keberhasilan (kembali ke niat). Kok
ngomongin niat terus, buat apa? Karena insya Allah niat yang kuat bisa menjaga
kita untuk tangguh dalam jama’ah dakwah yang tentunya tidak akan luput dari
masalah. Sementara itu, pihak-pihak yang secara struktur organisasi memiliki
pengaruh (misalnya: anggota Badan Pengurus Harian dan para kepala divisi)
haruslah menguatkan dan membangun pondasi organisasi dengan semangat “mari kita
saling menguatkan untuk dakwah secara berjama’ah”, bukan hanya sekedar “mari
kita sukseskan program-program kerja kepengurusan tahun ini”. Jika organisasi
masih dibangun dengan semangat yang kedua, mungkin seluruh anggota perlu
berkumpul untuk bersama-sama membuka AD-ART di bagian visi misi.
Pada akhirnya, kita sampai pada pertanyaan, yang
berorientasi pada proker itu organisasinya atau justru anggotanya? Bukankah
biasanya kita mengoar-ngoarkan BOLEH LELAH, ASAL LILLAH. Lillah kan?
Berorientasi pada ridho Allah kan?
Allahu A'lam. Semoga ada kebaikan dalam tulisan ini. Aku memang tak sebaik penampilanku, tidak juga sebaik tulisanku. Namun aku juga tidaklah seburuk yang kau pikirkan.
Sby, 1 Juni 2017
7: 30 AM