Setelah lulus dari pendidikan sarjana, tantangan-tantangan
baru kehidupan menanti. Uniknya adalah segenap tantangan itu terwakili dengan
satu pertanyaan: habis lulus mau ngapain? Pertanyaan yang memiliki efek horor
bagi sebagian orang, termasuk untukku. Aku merasa pertanyaan itu horor bukan
karena nggak ada yang aku kerjakan sih, tapi lebih ke bahwa ‘kesibukanku saat
ini adalah pilihanku yang akan membutuhkan waktu untuk membuatmu memahaminya’.
Salah satu tantangan yang insyaa Allah akan kupilih adalah melanjutkan ke
pendidikan tingkat master. Dorongan kuat dari orangtua seperti menyihirku dan
membuatku berpikir bahwa menempuh jenjang S-2 adalah sebuah kewajiban.
Pada masa-masa awal pasca kelulusanku, orangtuaku sering
mendorongku untuk mencari beasiswa untuk S-2 di luar negeri dengan beberapa
alasan (yang sebenarnya juga bukan merupakan jaminan sih), misalnya: 1) kuliah
di luar negeri akan memberikan pengalaman hidup yang berbeda dibandingan jika
kita tetap memilih kuliah di dalam negeri; 2) Menjadi lulusan master dari luar
negeri akan membuatmu lebih diperhitungkan saat mencari kerja nanti; 3) tak
dapat dipungkiri pula bahwa kuliah di luar negeri menumbuhkan kebanggaan
tersendiri. Bahkan untuk meyakinkanku, Bunda sempat juga bilang ke aku, “Bunda
nggak papa lho Tin kalau misalnya kamu tinggal.” Ayah pun ikut-ikutan
membenarkan Bunda. Namun apalah aku, seorang perempuan tradisional yang
berprinsip ‘selama ada yang dekat, kemudian bisa dekat dengan keluarga, kenapa
harus cari yang jauh?’
Namun, karena Ayah dan Bunda masih sering memotivasiku untuk
kuliah di luar, akhirnya aku pun mulai mencari-cari info. Pencarianku itu
berujung pada satu kesimpulan (yang juga masih dipengauhi oleh sikap
tadisionalku), kayaknya kuliah di Indonesia pun bagus kok. Nggak kalah sama di
luar. Selain itu, aku mulai tegas dengan bertanya kepada diriku sendiri, “Sebernanya,
apa sih yang kamu cari dari belajar psikologi, bahkan sampai harus melanjutkan
ke jenjang S-2?” Jawaban itu sudah jelas, bahwa belajar psikologi berarti juga
mempelajari salah satu aspek dari tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam
ini—yang tujuan utamanya adalah semakin mengenal dan takut kepada Allah; yang
kemudian dengan mempelajarinya aku bisa bermanfaat untuk diriku sendiri, keluarga,
dan masyarakat seluas-luasnya. Lebih khusus lagi, yang aku inginkan bukan sekedar ‘psikologi’,
namun juga psikologi yang teintegrasi dengan dengan islam, atau yang biasa
dikenal dengan istilah ‘Psikologi Islam’. Sejauh yang aku tahu dari membaca berbagai
wacana tentang psikologi islam, menurutku kunci dari psikologi islam ialah ‘mengaji’,
atau mengkaji islam secara mendalam kepada guru, sehingga kita dapat dengan
bijak melihat psikologi mainstream dan bagaimana mengintegrasikannya dengan
nilai-nilai islam. “Kalau gitu, fix
lah di Indonesia tempatnya. Kesempatan buat ke luar negeri bisa lewat short
course atau semacamnya yang nggak membutuhkan waktu lama,” pikirku.
Oke, perkara tujuan sudah clear. Kemudian alasan yang
membuatku berat meninggalkan Indonesia adalah aku nggak mau jauh dari Ayah dan
Bunda, salah satu kunci keberkahan hidupku. Biarkan aku di Indonesia, menambal cacatnya baktiku kepada beliau berdua.
Dengan sikap tradisionalku ini, aku tetap berpikir pada
saatnya nanti aku haus ‘go international’ wkwk. Aku punya cita-cita buat mendirikan
lembaga pendidikan Islam di negara-negara yang keberadaan islam masih sangat kurang
terlihat seperti misalnya Filipina atau Vietnam. Insyaa Allah akan ada jalan. Untuk kelas persiapan tes internasional pun,
aku mengambil kelas IELTS, jaga-jaga kalau suatu hari nanti Allah membalikkan
hatiku hehe. Intinya adalah aku di sini hanya ingin menyajikan pespektif lain,
sehingga jika teman-teman masih bingung untuk mengambil keputusan antara ‘kuliah
di dalam atau di luar negeri’, cobalah cari juga info dari mereka yang sudah kuliah
di sana. Bukan hanya tentang kisah suksesnya, namun juga perjuangan mereka
untuk tetap beragama dengan baik dan menjaga keharmonisan dengan keluarga yang
ditinggalkan.