Rabu, 28 November 2018

Menjemput Penggenap Keimanan


(Sebut saja) Mawar: “Tin, seumur-umur aku nggak pernah pacaran. Tapi bayangin, aku justru ‘terpeleset’ satu minggu sebelum akad. Godaannya di masa-masa seperti itu besar banget menurutku. Sampai sekarang aku merasa berdosa banget ... 

Me: “…”

Mawar: “Ya gimana ya…saat itu tuh kita udah tau kalau dia adalah jodoh kita gitu… ”
Sampai hari ini, saya tidak tahu ‘terpeleset’ seperti apa yang Mawar maksudkan. Namun, berdasarkan cerita panjang lebarnya, beberapa minggu sebelum akad ia tidak pernah bertemu langsung dengan calon suaminya dan ‘hanya’ menjalin komunikasi melalui media sosial. Mungkin, Mawar terpeleset mengirim pesan yang menurutnya terlampau mesra, sementara keduanya belum sah. Ah ya, bagi mereka yang memang sudah berkomitmen untuk menjemput jodoh dengan cara terbaik, hal itu sudah merupakan kesalahan yang membuatnya merasa sangat berdosa.

Di sisi lain, akhir-akhir ini kita bisa melihat di media sosial bertebaran foto ‘engagement’ atau bahasa kerennya ‘lamaran’ atau ‘khitbah’, yang kemudian mereka yang sudah lamaran itu kerap memamerkan foto mesranya. Nah, sebenarnya bagaimana sih islam mengajarkan kita untuk menjemput jodoh kita melalui proses nazhor-khitbah-nikah? Apa saja yang harus kita perhatikan? Berikut ini merupakan rangkuman kajian pranikah yang rutin diadakan di Masjid Ulul ‘Azmi UNAIR dengan dibina oleh Gurunda Ustadz Afri Andiarto. Rangkuman ini sudah diperiksa oleh beliau..

Nazhor
Pada umumnya dalam ajaran islam, laki-laki boleh melihat perempuan dalam jual beli, memberikan kesaksian, dan berbagai kegiatan baik lainnya dengan batas-batas tertentu. Namun, nazhor yang dimaksud di sini adalah proses melihat perempuan yang dilakukan sebelum laki-laki melamar atau mengkhitbah seorang perempuan. Adanya nazhor merupakan bentuk kehati-hatian, menjaga dari adanya ketertipuan fisik maupun akhlak. Hal ini penting karena pernikahan adalah ibadah seumur hidup dan ikrar pernikahan adalah termasuk dalam perjanjian yang sangat kuat. 

Mayoritas ulama sepakat bahwa laki-laki yang hendak melihat perempuan dengan maksud menikahi tidak perlu izin kepada perempuan yang bersangkutan, agar si laki-laki bisa mengetahui keadaan asli si perempuan. Maksudnya, karena tidak tahu akan diperhatikan, si perempuan akan berpenampilan dan bersikap natural atau tidak dibuat-dibuat. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga perasaan si perempuan. Bisa saja laki-laki ini tidak jadi menikahi si perempuan setelah memperhatikannya. Jika si perempuan mengetahui hal ini, tentu ini akan sangat melukainya. Namun, dalam hal ini Imam Malik berpendapat bahwa laki-laki harus izin kepada si perempuan, karena khawatir bahwa saat laki-laki melihat, perempuan yang tidak tahu ini sedang menampakkan auratnya. Satu hal penting yang perlu diingat ialah bagian tubuh yang boleh dilihat hanya wajah dan telapak tangan. Menurut Imam An-Nawawi, dengan memperhatikan tangan, laki-laki dapat mengetahui kecantikan seorang perempuan dan kesehatannya. 

Nah, apabila laki-laki tidak memungkinkan untuk melihat si perempuan, misalnya karena ia sedang berada di luar negeri, ia bisa meminta tolong kepada saudara atau teman perempuan (yang tidak ada kepentingan atau perasaan kepada si laki-laki) untuk melihat perempuan yang dimaksudkan.

Khitbah
Khitbah secara bahasa berasal dari kata khotoba yang artinya bercakap, menyampaikan sesuatu, dan identik dengan singkat, padat, dan jelas. Secara istilah, khitbah di sini bermakna menyampaikan maksud untuk meminang dari pihak laki-laki kepada wali dari pihak perempuan dengan ringkas, padat, dan tidak bertele-tele.

Adapun sunnah-sunnah dalam khitbah antara lain: mengucapkan maksud dengan diawali dengan membaca hamdalah dan sholawat nabi. Tidak diwajibkan untuk beramai-ramai dalam melamar, namun hal ini diperbolehkan karena biasanya ini dimaksudkan untuk menjalin silaturahim. Begitupun dengan membawa seserahan, diperbolehkan meskipun tidak wajib. Seserahan ini dinilai sebagai hadiah, yang mana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Saling memberilah hadiah , niscaya kalian akan saling mencintai. Namun, yang tidak diperbolehkan adalah apabila hal itu sampai memberatkan atau mempersulit diri sendiri. Karena Rasulullah pun menganjurkan kita untuk bersederhana. Adapun hukum tukar cincin adalah boleh, asalkan tidak saling bersentuhan. Maka tukar cincin bisa dilakukan dengan cara berikut: ibu si laki-laki memakaikan cincin kepada si perempuan; ayah si perempuan memakaikan cincin kepada si laki-laki.

Setelah lamaran diterima, maka laki-laki dan perempuan yang bersangkutan memasuki masa khitbah. Ketika memasuki masa khitbah, ulama menganjurkan untuk lebih ketat dalam menjaga interaksi, karena bagaimanapun keduanya belum terikat dalam pernikahan, sehingga tetap harus menjaga seperti tidak keluar berduaan dsb. Selain itu, pada masa ini godaan syetan lebih besar untuk menghasut keduanya agar melakukan maksiat.  Hal ini dikarenakan syetan sangat khawatir akan pernikahan yang akan dilaksanakan keduanya, yang mana pernikahan merupakan penyempurna separuh agama. Oleh karena itu, hendaknya setelah lamaran diterima, disegerakan untuk melaksanakan akad.

Dalam sebuah hadist, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ramaikanlah pernikahan dan sembunyikanlah khitbah (lamaran).” Seorang ulama pengikut madzhab Imam Malik mengatakan bahwa disunnahkan untuk menyembunyikan khitbah. Pertimbangan bahwa khitbah sebaiknya disembunyikan antara lain karena: untuk melindungi jikalau ada orang hasud atau tidak suka dengan bersatunya kedua calon mempelai; khitbah adalah rencana, kita sebagai manusia tidak tahu apa yang akan terjadi sebelum akad. Jika kemungkinan terburuk tidak jadi menikah, setidaknya kedua calon mempelai tidak menanggung malu yang sangat besar karena hanya keluarga yang mengetahui.

---

Akhirnya, kita harus memahami bahwa misi mengapa kita menikah bukanlah semata untuk bahagia, namun untuk menjalankan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian lahirlah generasi-generasi muda yang nantinya turut meneruskan perjuangan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mengingat besar dan mulianya misi pernikahan, sudah semestinya kita menjemput jodoh kita dengan keimanan yang utuh, ilmu yang mumpuni, dan juga cara yang baik. Allahu a’lam

0 comments: